Identifikasi dan Karakteristik Limbah Medis dan Pengelolaan Limbah B3 Puskesmas (Pewadahan, Labeling,
Penyimpanan, Insinerasi)
Limbah Padat Puskesmas
Makin disadari bahwa kegiatan
puskesmas yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi
masyarakat sekitarnya, tapi juga mungkin dampak negatif berupa cemaran akibat
proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Masyarakat
tidak mengetahui bahwa limbah puskesmas, terutama limbah medis, merupakan
limbah B3 dan pengelolaannya tidak bisa disamakan dengan limbah domestik.
Limbah
padat adalah semua buangan padat yang timbul dari
aktivitas manusia maupun hewan dan dibuang sebagai barang yang sudah tidak
dipakai atau dikehendaki (Tchobanoglous, 1993). Limbah padat puskesmas
adalah semua limbah puskesmas yang berbentuk padat sebagai akibat kegiatan
puskesmas yang terdiri dari limbah medis padat dan non-medis.
Untuk limbah buangan dari puskesmas berasal dari bagian
tubuh maupun jaringan manusia dan binatang, darah atau cairan darah, zat
eksresi, obat-obatan maupun dari produk kimia, kain pel ataupun pakaian, juga
dari jarum suntik, gunting dan benda tajam lainnya.
Limbah Padat Non Medis
Limbah
puskesmas mulai disadari sebagai bahan buangan yang dapat menimbulkan gangguan
kesehatan lingkungan karena berbagai bahan yang terkandung di dalamnya dapat
menimbulkan dampak kesehatan dan menimbulkan cidera atau penyalahguanaan.
Sampah (limbah) merupakan tempat timbulnya organisme penyakit dan menjadi
sarang serangga atau tikus.
Limbah padat non-medis adalah
limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di puskesmas di luar medis yang
berasal dari dapur, perkantoran, taman, dan halaman yang dapat dimanfaatkan
kembali apabila ada teknologinya.
Untuk
keperluan pengelolaan tiap puskesmas dapat menyusunnya sendiri disesuaikan
dengan kondisi setempat serta maksud dan kemampuan pengelolaan. Sebagai pedoman
dapat merujuk pada tabel berikut:
Tabel
Pengertian Limbah Padat Menurut Sifatnya
Jenis
|
Pengertian
|
Sampah
|
Bahan-bahan
yang tidak berguna, tidak digunakan ataupun yang terbuang
|
Refuse
|
Semua
sampah padat yang meliputi garbage,
rubbish, ashes, dan bangkai binatang
|
Garbage
|
Sampah
mudah busuk yang berasal dari penyiapan, pengolahan, dan penyajian makanan
|
Rubbish
|
Sampah
tidak mudah busuk kecuali ashes,
yang terbagi dalam:
|
Abu
|
Residu
dari hasil pembakaran
|
Sampah
Biologi
|
Sampah
yang langsung dihasilkan dari diagnosa dan tindakan terhadap pasien, termasuk
bahan-bahan medis pembedahan, otopsi, dan laboratorium.
|
Sumber : Pedoman Sanitasi Puskesmas
di Indonesia,2002
Limbah Padat Medis
Puskesmas
merupakan penghasil limbah medis, berbagai jenis limbah yang dihasilkan di
puskesmas dan unit-unit pelayanan medis bisa membahayakan dan menimbulkan
gangguan kesehatan bagi pengunjung dan terutama petugas yang menangani limbah
tersebut. Maka limbah tersebut perlu pengolahan terlebih dahulu sebelum
diangkut ke tempat pembuangan atau dimusnahkan dengan unit pemusnah limbah
tersebut.
Limbah padat medis adalah
limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda
tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif,
limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang
tinggi. (Departemen Kesehatan, 2004).
Bentuk
limbah padat medis bisa bermacam-macam dan secara umum yang sering menimbulkan
masalah di puskesmas adalah limbah infeksius (benda tajam, spuit bekas, jarum
suntik bekas, pisau bekas, bekas botol obat, sanitary napskin, pembalut, verban, blood bag, urine bag, infus bag, centeter,
maag tube, sarung tangan bekas, swab,
placenta, jaringan tubuh manusia), limbah citotoksik (bahan-bahan yang terkontaminasi dengan obat citotoksik:
Metro trexat, 5 fluro uracyl, selam peracikan, pengangkutan atau terapi citotoksik), limbah farmasi (obat-obatan
kadaluarsa, obat-obatan yang dikembalikan pasien), limbah radioaktif (bahan
yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau
riset radionucleida) (Reinhardt,1991).
Tidak semua
limbah padat medis membahayakan, tetapi sebagian membahayakan sehingga
memerlukan prosedur penanganan tertentu sehingga tidak menimbulkan ancaman saat
penanganan, penampungan dan pengangkutan serta pemusnahannya karena alasan
sebagai berikut:
a.
Volume limbah yang dihasilkan melebihi kemampuan
pembuangannya.
b.
Beberapa diantara limbah tersebut berpotensi
menimbulkan bahaya kepada personil yang terlihat dalam pembuangan, apabila
tidak ditangani dengan baik.
c.
Limbah ini juga menimbulkan pencemaran lingkungan
apabila mereka dibuang secara sembarangan dan akhirnya membahayakan atau
mengganggu kesehatan masyarakat.
Sumber dan Karakteristik Limbah Padat
Puskesmas
Sumber Limbah Padat Puskesmas
Sumber-sumber
timbulan puskesmas dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel. Sumber Timbulan Limbah Padat Puskesmas
Sumber/Area
|
Jenis Limbah Padat
|
Kantor/administrasi
|
Kertas
|
Unit obstertic dan ruang perawatan obstertic
|
Dressing, sponge, jaringan tubuh, termasuk kapsul perak, nitrat, jarum syrynge, masker disposable, disposable
drapes, sanitary napkin, blood lanchet disposable, disposable catheter,
disposable unit enema, disposable diaper dan underpad, sarung tangan
disposable.
|
Unit emergency dan bedah termasuk ruang perawatan
|
Dressing, sponge, jaringan tubuh, termasuk amputasi, ampul bekas, masker disposable, jarum dan syringe drapes, cabs, disposable blood lanchet, disposable kantong emisin, levin tubes, catheter, drainase
set, kantong colosiomy, underpads, sarung bedah.
|
Unit laboratorium, ruang mayat, patologi, dan autopsi
|
Gelas terkontaminasi, termasuk
pipet petri dish, wadah specimen, jaringan tubuh, organ, tulang
|
Unit isolasi
|
Bahan-bahan kertas yang mengandung
buangan nasal dan spurtum, dressing
dan bandages, masker disposable, sisa makanan, perlengkapan
makan
|
Unit perawatan
|
Ampul, jarum disposable,
dan syringe kertas dan lain-lain
|
Unit pelayanan
|
Karton, kertas bungkus, kaleng,
botol, sampah dari ruang umum dan pasien, sisa makanan, buangan
|
Unit gizi/dapur
|
Sisa pembungkus, sisa makanan/bahan
makanan, sayur dan lain-lain
|
Halaman
|
Sisa pembungkus, daun ranting, debu
|
Sumber :
Pedoman Sanitasi Puskesmas di Indonesia,2002
Karakteristik Limbah Puskesmas
Karakteristik limbah padat medis sebenarnya tidak
dapat dipisahkan dari karakteristik limbah padat puskesmas secara keseluruhan
sehingga karakteristik limbah medis dapat dilihat berdasarkan bentuk, bahan,
dan ukuran dari limbah yang ada sesuai sifat dan potensi infeksiusnya yang
dapat digolongkan.
Limbah puskesmas umumnya
dapat dikarakteristikkan sebagai berikut (Depkes RI,2002) :
a. Limbah benda tajam
Limbah benda tajam adalah
obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol
yang dapat memotong atau menusuk kulit, seperti jarum hipodermik, perlengkapan
intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, dan pisau bedah.
b. Limbah infeksius
Limbah infeksius
merupakan limbah yang mengandung mikroorganisme patogen yang dilihat dari
konsentrasi dan kuantitasnya bila terpapar dengan manusia akan dapat
menimbulkan penyakit. Kategori yang termasuk limbah ini antara lain jaringan
dan stock dari agen-agen infeksi dari
kegiatan laboratorium, dari ruang bedah, atau dari autopsi pasien yang
mempunyai penyakit menular, atau dari pasien yang diisolasi atau materi yang
kontak dengan pasien yang menjalani haemodialise
(tabung, filter, serbet, gaun, sarung tangan dan sebagainya) atau materi yang
berkontak dengan binatang yang sedang diinokulasi dengan penyakit menular atau
sedang menderita penyakit menular.
c. Limbah farmasi
Limbah
farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang
karena batch yang tidak memenuhi
spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat yang dibuang oleh
pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh
institusi yang bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi
obat-obatan.
d. Limbah patologi
Limbah
patologi meliputi jaringan tubuh, organ, anggota badan, placenta, darah, dan
cairan tubuh lain yang dibuang pada saat pembedahan atau autopsi.
e. Limbah citotoksik
Limbah citotoksik ini
merupakan bahan yang terkontaminasi atau memungkinkan terkontaminasi dengan
obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau dalam terapi citotoksik.
Obat citotoksik adalah obat yang memiliki kekuatan spesifik untuk menghancurkan
sel tertentu, dapat bersifat mutagenik, karsinogenik, atau teratogenik dan
kemungkinan besar berisiko terhadap kesehatan personel yang terpapar obat dalam
jumlah kecil namun dalam waktu lama saat penanganan dan penyiapan obat tersebut.
Misalnya azathioprine, klorambusil, cisplatin, 5-Fluouracil, cyclosphamide,
melphalan dan metotreksat).
f. Limbah kimia
Limbah kimia dihasilkan
dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses
sterilisasi, dan riset
g. Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif dapat
berfase padat, cair maupun gas yang terkontaminasi dengan radionuklisida, dan
dihasilkan dari analisis in-vitro terhadap jaringan tubuh dan cairan,
atau analisis in-vivo terhadap organ tubuh dalam pelacakan atau
lokalisasi tumor.
Timbulan limbah dari kegiatan puskesmas
bervariasi dari suatu institusi ke institusi sesuai dengan besarnya aktivitas. Limbah medis atau limbah klinis,
sesuai pemahaman Departemen Kesehatan RI, adalah sampah dari pelayanan medis,
perawatan gigi, bedah, farmasi, dan penelitian, pengobatan, perawatan,
penelitian, pendidikan yang menggunakan bahan beracun, infeksius dan berbahaya.
Menurut Departemen Kesehatan 2002, limbah dari
pelayanan kesehatan atau puskesmas dapat diklasifikasikan menjadi beberapa
golongan:
- Golongan A
Limbah padat yang memiliki sifat
infeksius paling besar berasal dari aktivitas kegiatan pengobatan yang
memungkinkan penularan penyakit jika mengalami kontak dengan limbah tersebut
dengan media penularan bakteri, virus, parasit dan jamur. Adapun limbah padat
medis golongan ini contohnya adalah:
a. Perban bekas pakai
b. Sisa potongan tubuh manusia
c. Pembalut, pampers
d. Bekas infus atau transfuse set
e.
Sisa
binatang percobaan
- Golongan B
Limbah padat yang memiliki sifat
infeksius karena memiliki bentuk tajam yang dapat melukai dan memotong pada
kegiatan terapi dan pengobatan yang memungkinkan penularan penyakit media
penularan bakteri, virus, parasit, dan jamur. Adapun limbah padat medis
golongan ini contohnya adalah:
a. Spuit bekas
b. Jarum suntik bekas
c. Pisau bekas
d.
Pecahan
botol/ampul obat
- Golongan C
Limbah padat yang memiliki sifat
infeksius karena digunakan secara langsung oleh pasien yang memungkinkan
penularan penyakit media penularan bakteri, virus, parasit, dan jamur. Adapun
limbah padat medis golongan ini contohnya adalah:
a. Parlak terkontaminasi
b. Tempat penampungan urine
terkontaminasi
c. Tempat penampungan muntah
terkontaminasi
d.
Benda-benda
lain yang terkontaminasi
- Golongan D
Limbah padat farmasi seperti obat
kadaluarsa, sisa kemasan dan kontainer obat, peralatan yang terkontaminasi
bahan farmasi, obat yang dibuang karena tidak memenuhi syarat. Adapun limbah
padat medis golongan ini contohnya adalah:
a. Obat-obat kadaluarsa
b.
Kemasan
obat dan bahan pembersih luka
- Golongan E
Limbah padat sisa aktivitas yang
dapat berupa bed plan disposable,
pispot, dan segala bahan yang terkena buangan pasien. Adapun limbah padat medis
golongan ini contohnya adalah:
a. Pispot tempat penampungan urine
pasien
b. Tempat tampungan muntahan pasien
Pada dasarnya pengelolaan limbah medis
dapat dibagi menjadi empat yaitu (Suwargono, 2004, disitasi Manullang
Paima,2008):
- Limbah padat atau domestik
- Limbah cair
- Limbah gas
- Limbah B3 (baik cair maupun padat) dibagi menjadi:
1.
Infectious waste
2.
Pathological waste
3.
Medical hazardous waste seperti limbah radioaktif,
genotoksik, kimiawi, farmasi.
Menurut
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 juncto Nomor 85 Tahun 1999 tentang
Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang dimaksud
dengan limbah B3 adalah:
“sisa suatu usaha dan / atau kegiatan
yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau
konsentrasinya dan/atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung,
dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan,
kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain”.
Berdasarkan
Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999, juncto Nomor 85 Tahun 1999 secara
umum karakteristik limbah B3 adalah sebagai berikut:
1. Mudah meledak
Limbah
yang pada suhu dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak
atau melalui reaksi kimia maupun fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan
tekanan tinggi yang merusak lingkungan sekitarnya dengan cepat.
2. Mudah terbakar
Limbah
dikatakan mudah terbakar apabila memiliki salah satu sifat sebagai berikut:
a. Limbah yang berupa cairan, mengandung
alkohol kurang dari 24% volume atau pada titik nyala tidak lebih dari 60oC
(140oF) akan menyala jika kontak dengan api, percikan api atau
sumber nyala lain pada tekanan udara 760 mmHg.
b. Limbah yang bukan berupa cairan, jika
pada temperatur dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat
menyebabkan kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia
secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran yang terus
menerus.
c.
Limbah yang bertekanan dan mudah
terbakar.
d. Limbah pengoksidasi.
3. Bersifat reaktif
Limbah
bersifat reaktif jika memiliki salah satu sifat sebagai berikut:
a. Limbah yang pada keadaan normal tidak
stabil dan dapat menyebabkan perubahan tanpa peledakan.
b.
Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan
air.
c.
Limbah yang apabila bercampur dengan air
berpotensi menimbulkan ledakan, menghasilkan gas, uap atau asap beracun dalam
jumlah yang membahayakan bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
d.
Merupakan limbah sianida, sulfida atau
amonia yang pada kondisi pH antara 2 – 12,5 dapat menghasilkan gas, uap atau
asap beracun dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
e.
Limbah yang dapat mudah meledak atau
bereaksi pada suhu dan tekanan standar.
f.
Limbah yang menyebabkan kebakaran karena
melepas atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil
dalam suhu tinggi.
4. Beracun
Beracun
berasal dari limbah yang mengandung pencemar bersifat racun bagi manusia atau
lingkungan yang dapat menyebabkan kematian atau sakit serius apabila masuk ke
dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
5. Menyebabkan infeksi
Infeksi
merupakan limbah yang berasal dari organ tubuh manusia yang diamputasi, cairan
dari tubuh manusia yang terkena infeksi, limbah dari laboratorium atau limbah
lainnya yang terinfeksi kuman penyakit yang dapat menular. Limbah ini berbahaya
karena mengandung kuman penyakit seperti hepatitis dan kolera yang ditularkan
pada pekerja, pembersih jalan, dan masyarakat di sekitar lokasi pembuangan
limbah.
6. Bersifat korosif
Limbah
bersifat korosif apabila mempunyai salah satu sifat sebagai berikut:
a.
Menyebabkan iritasi (terbakar) pada
kulit.
b.
Menyebabkan proses pengkaratan pada
lempeng baja (SAE 1020) dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun
dengan temperatur pengujian 55oC.
c.
Mempunyai pH sama atau kurang dari 2
untuk limbah bersifat asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang
bersifat basa.
Proses Pengelolaan Limbah Padat
Limbah Padat Non Medis
a. Pemisahan dan Pewadahan
Pemisahan
sampah adalah langkah yang mendasar dalam pengelolaan sampah medis, mulai dari
pemilahan sampah medis dan domestik, serta pemilahan sejak dari tangan pertama.
Cara penampungan dan pengumpulannya harus jelas agar sampah tidak tercampur dan
sulit diurus. Tercampurnya sampah medis dengan sampah domestik akan menyebabkan
semuanya menjadi limbah B-3 sehinga ongkos penangannya meningkat. Pemilahan
yang baik akan mengurangi jumlah sampah yang harus dibakar.
Untuk proses
pewadahan puskesmas harus menyediakan tempat penampungan sampah/ kantong sampah
dengan warna dan tanda khusus. Untuk memudahkan pengenalan berbagai jenis
limbah yang akan dibuang, digunakan pemisahan dengan kantong-kantong spesifik
(biasanya dengan warna yang berbeda dan pemberian label).
Limbah yang
telah dilakukan pemilahan dan pewadahan dimasukkan kedalam kontainer-kontainer
logam yang tahan air dan ditutup rapat sehingga tidak diaduk-aduk atau diganggu
pemulung sebelum diangkut.
Adapun persyaratan pewadahan limbah padat antara lain (Departemen
Kesehatan, 2004):
a.
Pewadahan limbah padat non-medis harus
dipisahkan dari limbah medis padat dan ditampung dalam kantong plastik warna
hitam.
b.
Setiap tempat pewadahan limbah padat harus
dilapisi kantong plastik warna hitam sebagai pembungkus limbah padat dengan
lambang ”domestik” warna putih.
c.
Bahan tidak mudah berkarat.
d.
Kedap air terutama untuk menampungan sampah basah.
e.
Bertutup rapat.
f.
Mudah dibersihkan.
g.
Mudah dikosongkan atau diangkut.
h.
Tidak menimbulkan bising.
i.
Tahan terhadap benda tajam dan runcing.
b. Pengangkutan Limbah Padat
Pengangkutan sampah dimulai dengan pengosongan bak sampah di setiap unit
dan diangkut ke pengumpulan lokal atau ke tempat pemusnahan. Pengangkutan
biasanya dengan kereta, sedangkan untuk bangunan bertingkat dapat dibantu
dengan menyediakan cerobong sampah.
Untuk merencanakan pengangkutan sampah puskesmas perlu mempertimbangkan
hal-hal sebagai berikut (Departemen Kesehatan,2002):
a.
Penyebaran tempat penampungan sampah
b.
Jalur jalan dalam puskesmas
c.
Jenis dan kapasitas sampah
d.
Jumlah tenaga dan sarana yang tersedia
Alat
pengangkutan sampah di puskesmas dapat berupa gerobak atau troli dan kereta
yang harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Depertemen Kesehatan RI sebagai
berikut:
a.
Memiliki wadah yang mudah dibersihkan bagian
dalamnya serta dilengkapi dengan penutup.
b.
Harus kedap air dan mudah untuk diisi dan
dikosongkan.
c.
Setiap keluar dari pembuangan akhir selalu dalam
kondisi bersih.
Peralatan-peralatan
tersebut harus jelas dan diberi label, dibersihkan secara teratur dan hanya
digunakan untuk mengangkut sampah. Setiap petugas hendaknya dilengkapi dengan
alat proteksi dan pakaian kerja khusus, petugas pengankutan harus menggunakan
perlengkapan seperti: pakaian kerja khusus, sarung tangan yang terbuat dari
bahan neophrane, masker, topi pengaman, dan sepatu boot.
c. Pembuangan Limbah Padat
Pembuangan limbah padat berdasarkan Departemen Kesehatan RI tahun 2002
dapat ditempuh melalui dua alternatif:
1)
Pembuangan dan pemusnahan limbah padat medis dan non
medis secara terpisah. Pemisahan ini dimungkinkan bila Dinas Kesehatan dapat
diandalkan sehingga beban puskesmas tinggal memusnahkan sampah medis.
2)
Pembuangan dan pemusnahan limbah padat medis dan non
medis dijadikan satu, dengan demikian puskesmas harus menyediakan sarana yang memadai.
Untuk
limbah padat non medis atau biasa disebut sampah domestik diperlukan suatu
kontruksi tempat pengumpulan sampah sementara antara limbah yang
dapat dimanfaatkan dengan limbah yang tidak dapat dimanfaatkan kembali.. Tempat
tersebut tidak merupakan sumber bau, dan lalat bagi lingkungan sekitarnya
dilengkapi saluran untuk cairan lindi. Terbuat dari dinding semen atau
dengan kontainer logam yang sesuai dengan persyaratan umum yaitu kedap air,
mudah dibersihkan dan berpenutup rapat. Ukuran hendaknya tidak terlalu besar
sehingga mudah dikosongkan. Apabila jumlah sampah yang ditampung cukup banyak,
maka perlu penambahan jumlah kontainer.
Limbah Padat Medis
1. Pemisahan dan Pewadahan
Cara
penting untuk mengurangi resiko dalam menangani limbah adalah menggunakan
pembungkus atau pewadahan yang tepat, yaitu dengan menangani limbah sejak dari
sumber timbulnya ke suatu wadah (container).
Bila hal ini dilaksanakan maka kontak selama penanganan limbah seperti saat sortir dan repacking yang beresiko terjadi penularan dapat dihindari. Faktor
yang mempertimbangkan dalam menentukan wadah atau kontainer untuk limbah
infeksius adalah :
a. Jenis limbah
b. Prosedur dalam penanganan
c. Prosedur dalam pengumpulan
d. Prosedur dalam penyimpanan
e. Pengolahan limbah
f.
Transport
limbah bila menggunakan pengolahan offsite
Pertimbangan pertama adalah
mengetahui tipe limbah infeksius, dimana dapat digolongkan menjadi tiga tipe,
yaitu: limbah benda tajam, limbah padat, dan cair. Ketiganya memiliki perbedaan
besar secara fisik, kimia, dan resiko yang dapat ditimbulkan sehingga
persyaratan dalam pewaadahan dan penanganannya pun berbeda (Reinhard, 1991).
A.
Limbah Benda Tajam
Pemanfaatan kontainer
khusus bagi benda tajam sangat penting untuk mencegah pekerja menangani limbah
terluka akibat terkena benda tajam. Faktor lain yang dipertimbangkan adalah
kesehatan di lingkungan sekitar. Oleh karena itu pewadahan limbah benda tajam
harus memiliki kriteria antara lain:
1. Tahan Tusukan
Definisi kontainer ini
adalah kemampuannya untuk menahan benda tajam terhadap dinding selama
penanganan. Ketahanan terhadap tusukan merupakan masalah penting untuk
memastikan kontainer aman. Untuk menjaga kondisi kontainer, pembuangan tidak
boleh melampaui kapasitasnya.
2.
Impermeabilitas (Impermeability)
Kontainer haruslah kedap
atau tembus air, sehingga adanya sisa cairan yang terkandung didalam alat
suntik, infuse, dan alat-alat lain
tidak tumpah atau tercecer dari kontainer.
3.
Kekakuan (Rigidity)
Rigidity atau kekakuan bahan kontainer akan dapat menahan adanya tusukan benda
tajam di dalamnya dan bentuknya tidak akan berubah sehingga mudah ditangani.
4. Penandaan
Penandaan diperlukan guna mengidentifikasi kontainer
yang berisi limbah padat infeksius. Penandaan yang biasa digunakan warna merah
untuk limbah biohazard (infeksius).
B.
Pewadahan
Limbah Padat Infeksius
Pewadahan limbah padat
yang digunakan adalah dengan bungkus plastik agar dapat menampung limbah tanpa
terjadi tumpahan. Adapun persyaratan kantong untuk limbah padat antara lain:
1. Impermeabilitas (Impermeability)
Meskipun limbah padat,
sering kali limbah ini masih menyimpan material basah. Untuk menghindari
terjadinya kebocoran dan tumpahan perlu pawadahan yang kedap atau tembus air,
yaitu dengan kantong plastik.
2. Kuat
Kantong plastik yang
digunakan harus kuat untuk menampung limbah padat sehingga tidak pecah atau
sobek. Pada saat pengisian tidak boleh melebihi muatan dan harus dihindari dari
benda tajam. Adapun kekuatan plastik tidak ada ketentuan, tergantung kebutuhan.
3. Penandaan
Seperti halnya limbah benda tajam, pewadahan limbah
padat juga diberi warna merah-orange serta simbol. Perlakuan standarisasi
kantong dan kontainer seperti dengan menggunakan kantong yang bermacam warna
yang telah ditetapkan dalam Kepmenkes
1204/Menkes/SK/X/2004 antara lain:
1.
Sampah infeksius:
kantong berwarna kuning dengan simbol biohazard yang telah dikenal secara
internasional berwarna hitam.
2.
Sampah
citotoksik: kantong berwarna ungu dengan simbol limbah citotoksik.
3.
Sampah radioaktif:
kantong berwarna merah dengan simbol radioaktif yang dikenal secara
internasional.
C. Pewadahan Limbah Cair Infeksius
Ada
berbagai cara untuk meminimalisasikan resiko bahaya dari limbah cair infeksius.
Pemilihannya tergantung pada pengolahan yang diperlukan, cara pemindahan dan
seberapa jauh harus dipindahkan untuk diproses. Alat yang diperlukan untuk
pemindahan limbah cair yaitu dengan botol tertutup dan dilindungi dengan adanya
kontainer sekunder untuk menjaga botol-botol tersebut dari kemungkinan
kecelakaan.
Limbah
cair dapat diolah menggunakan sterilisasi, insinerator, tetapi pada umumnya
limbah cair akan disalurkan secara langsung ke suatu instalasi pengolahan air
limbah puskesmas tersendiri sesuai dengan limbah cair yang dihasilkan.
Sedangkan untuk limbah cair yang diinsinerasi, maka pewadahannya menggunakan
katong plastik agar mudah dalam pembakaran sedang penggunaan gelas, logam harus
dihindari karena akan menghambat proses yang terjadi dalam insinerator
(Reinhardt, 1991).
- Pengangkutan
Proses pewadahan perlu diperhatikan
agar limbah medis tidak mencemari lingkungan. Kereta dorong sering digunakan
dalam pemindahan limbah medis ke tempat pengolahan secara onsite (insinerator). Jenis kereta dorong yang digunakan tergantung
dengan jenis limbah yang diangkut dan kontainernya (Reinhardt, 1991). Adapun
syarat dari pengumpul antara lain:
1. Penjadwalan secara rutin pembersihan
dan disinfeksi dari kereta pengumpul.
2. Mengatur pengumpulan berdasarkan
waktu pembuangan, kapasitas penyimpanan, dan kapasitas pengolahan.
3. Membuat rute pengumpulan sederhana.
4. Kereta dorong atau troli harus
didesain sehingga:
1) Permukaan harus licin, rata, dan
tidak tembus.
2) Tidak akan menjadi sarang serangga.
3) Mudah dibersihkan dan dikeringkan.
4) Sampah tidak menempel pada alat
angkut.
5)
Sampah
mudah diisikan, diikat, dan dituang kembali.
Sedangkan
untuk pengolahan offsite diperlukan
prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus diikuti oleh semua petugas yang
terlibat. Untuk limbah medis harus diangkut dengan kontainer sesuai persyaratan
kontainer. Untuk pengangkutannya diperlukan kendaraan yang hanya dipakai untuk
mengangkut limbah medis saja. Persyaratannya antara lain, kendaraan hendaknya
mudah memuat dan membongkar serta mudah dibersihkan dan dilengkapi dengan alat
pengumpul kebocoran. Ruang sopir secara fisik harus terpisah dari limbah.
Desain kendaraan sedemikian rupa sehingga sopir dan masyarakat terlindungi bila
sewaktu-waktu terjadi kecelakaan. Kendaraan juga harus dipasang kode atau tanda
peringatan (Departemen Kesehatan, 2002)
- Penyimpanan
Pada prinsipnya limbah medis harus
segera mungkin dilakukan pengolahan setelah dihasilkan dan penyimpanan
merupakan prioritas akhir bila limbah benar-benar tidak dapat langsung diolah.
Limbah tidak boleh terlalu lama disimpan karena pada suhu kamar dapat mendorong
pertumbuhan agen penyakit, selain itu juga karena pertimbangan estetika.
Beberapa faktor penting dalam penyimpanan (Reinhardt, 1991).
a. Melengkapi tempat penyimpanan dengan cover atau penutup
b. Menjaga agar areal penyimpanan limbah
medis tidak tercampur dengan limbah non-medis
c. Membatasi akses sehingga hanya orang
tertentu yang dapat memasuki area.
d. Labeling dan pemilihan tempat
penyimpanan yang tepat.
2.1.1.
Pengelolaan Limbah Medis
Menurut Departemen Kesehatan RI, pengelolaan limbah
puskesmas harus disesuaikan dengan penggolongannya. Hal ini bertujuan untuk
efektivitas pekerjaan dan efisiensi financial.
Untuk limbah golongan A dan B perlu dibuang ke dalam kontainer khusus dan
diinsinerasi. Sementara untuk limbah laboratorium atau golongan C seperti
limbah radioaktif umumnya disimpan dalam area puskesmas itu sendiri utuk
menunggu waktu paruhnya habis dan disingkirkan sebagai limbah non radioaktif
insinerator.
Sistem pengolahan dan pembuangan
limbah puskesmas antara lain:
- Pemanasan dengan uap (Autoclaving)
Autoclaving sering digunakan untuk perlakuan limbah infeksius dengan
prinsip pemanasan dengan uap dibawah tekanan. Perlakuan dengan suhu tinggi pada
periode singkat akan membunuh bakteri dan mikroorganisme yang membahayakan.
Kekurangannya adalah tidak dapat digunakan untuk volume limbah yang besar.
- Desinfeksi (Desinfection)
Peranan
desinfeksi untuk institusi yang besar terbatas penggunaannya. Limbah medis
dalam jumlah kecil dapat didesinfeksi dengan bahan kimia seperti hipoklorit atau permanganat. Tetapi kemampuan
desinfeksi untuk terserap limbah akan menambah bobot sehingga menimbulkan
masalah dalam penanganan.
3. Insinerator
Dalam pengolahan limbah puskesmas
dilihat dari aspek ekonomi, teknis, lingkungan, sosial, dan adanya partisipasi
dari pihak swasta maka yang paling direkomendasikan adalah insinerator
(Departemen Kesehatan, 2002). Tetapi dalam pengoperasiannya memerlukan
perhatian lebih terhadap residu yang dihasilkan baik ke udara maupun abu yang
dibuang ke landfill.
Unit Pengolahan Limbah Puskesmas
Insinerator
Insinerator
adalah sebuah proses yang memungkinkan materi combustible (mudah terbakar) seperti halnya limbah organik
mengalami pembakaran, kemudian dihasilkan gas/partikulat, residu noncombustible
dan abu. Gas pertikulat tersebut dikelurakan melalui cerobong setelah melalui
sarana pengolahan pencemar udara yang sesuai. Residu yang bercampur debu
dikeluarkan dari insenerator dan disingkirkan pada lahan urug. Disamping
pengurangan masa dan volume sasaran utama insinerator adalah mengurangi sifat
bahaya dari limbah itu sendiri (Freeman, 1988).
Insinerator mereduksi volume sampah
sebesar 95-96 % volume sampah awal, tergantung dari komposisi material sampah
yang dimasukkan. Ini berarti insinerasi tidak sepenuhnya mengganti penggunaan
lahan sebagai area pembuangan akhir, tetapi insinerasi mengurangi volume sampah
yang dibuang dalam jumlah yang signifikan. Model dari insinerator sangat
beragam, tetapi tidak semua limbah dapat diproses dengan menggunakan
insinerator.
Model dari
insinerator sangat beragam, tetapi tidak semua limbah dapat diproses dengan
menggunakan insinerator. Adapun tipe limbah yang dapat diinsinerasi adalah
(Anonim, 1991, disitasi Pranata Muhammad Yuda , 2012):
1.
Tipe A: Trash, Adalah
campuran dari bahan-bahan mudah terbakar seperti kertas, papan, kotak kayu yang
dihasilkan dari kegiatan komersial dan industri.
2.
Tipe B: Rubbish, gabungan dari
sampah-sampah kertas, daun-daunan, bongkahan kayu dari limbah domestik,
komersial dan industri.
3. Tipe C: Refuse, terdiri dari
gabungan sampah tipe A dan tipe B biasanya berasal dari perumahan penduduk.
4. Tipe D: Garbage,
terdiri dari limbah tanaman maupun hewan dari restoran, kafetaria, hotel,
pasar juga puskesmas.
5. Tipe E: Human
and animal remains, terdiri dari organ tubuh, jaringan- jaringan dan berbagai limbah organik yang
berasal dari puskesmas.
Teknologi
insinerasi mempunyai beberapa tujuan yaitu:
1.
Mengurangi massa/volume
Insinerator
pada awalnya digunakan untuk membakar sejenis sampah kota agar berkurang massa
dan volumenya, sehingga dari proses ini dikeluarkan abu, debu dan gas hasil
pembakaran), bila yang terbakar hanya karbon oganik, maka secara kimia
sederhana akan dihasilkan reaksi oksidasi sebagi berikut:
C-organik + Oksigen
C-organik lebih
sederhana + C-
sisa pembakaran + CO + CO2
Tambah sempurna proses pembakaran,
maka akan tambah sedikit (mungkin tidak tersisa) komponen-komponen:
a. C-organik (pencemar di abu/debu dan
di cerobong)
b. Gas CO (pencemar di cerobong)
Sehingga yang dihasilkan setelah
insinerasi tersebut, adalah:
a. Arang ( C ) pada abu dan debunya
b. CO2 pada stack atau
cerobongnya
2.
Mendestruksi komponen bahaya
Parameter
utama yang menjadi andalan agar terjadi destruksi adalah adanya temperatur yang
cukup. Biasanya sebuah incinerator dioperasikan di atas 800aC, bila
ini gagal dicapai maka akan gagal pula sasaran ini.
3.
Pemanfaatan energi panas
Pada dasarnya insinerasi adalah
identik dengan combustion. Combustion
adalah membakar bahan bakar yang dapat menghasilkan energi yang dapat
dimanfaatkan seperti energi listrik. Dengan demikian dari sebuah insinerator
dapat dihasilan energi.
Salah satu
konversi yang paling sederhana yang mungkin dapat diharapkan adalah dalam
bentuk energi panas, yaitu memanfaatkaan panas pembakaran dalam ruang
insinerator untuk menghasilkan air panas atau uap air panas.
4. Kritia desain.
5. Tidak memerlukan tempat yang luas.
6. Salah satu alternatif pemusnahan
limbah yang bersifat infeksius.
Jenis-jenis Insinerator
Ada
beberapa jenis insinerator untuk limbah berbahaya:
a) Insinerator dengan injeksi cair ( liquid
injection incineration)
Metode
insinerator yang paling umum digunakan untuk limbah berbahaya yang paling umum
adalah didasarkan atas injeksi cair, baik horizontal, vertikal maupun
tangensial. Mayoritas proses dari insinerasi ini adalah melalui nozel
pengatoman (atomizing nozle) ke
ruang pembakaran. Pemasok bahan bakar tambahan yang digunakan adalah gas dan
cair atau auxilary fuel. Temperatur yang digunakan diasanya antara 1500
– 3000 ºF (815 – 1650 ºC). Efisiensi destruksi ditentukan oleh banyaknya
penguapan dan uap yang bereaksi (Freeman, 1988).
Gambar 2.1 Liquid Injection Incinerator
b) Insinerator Rotary Klin
Jenis
insinerator rotary klin sering digunakan dalam menangani limbah berbahaya baik
padat maupun cair, karena kemampuannya yang baik. Pada umumnya sistem rotary
klin terdiri dari dua kamar, yaitu:
a. Kamar 1, beroperasi pada suhu 1500 –
2000 ºF (815 – 1540 ºC)
b. Kamar 2, agar bekerja dengan sempurna
(after-burner) bekerja pada suhu 1800 – 3000 ºF (980 – 1650 ºC).
Untuk limbah
cair dapat langsung diinjeksikan langsung ke kamar-2. Sedangkan limbah yang
tervolatil setelah dari kamar-1, kemudian meninggalkan klin dan masuk ke
kamar-2. Pada saat ini oksigen serta limbah cair berkalori tinggi atau bahan
bakar ditambahkan. Limbah dihancurkan sesuai dengan DRE di kamar-2.
Kelebihan rotary klin adalah kemampuannya untuk
menerima limbah yang bervariasi, dioperasikan pada temperatur tinggi dan
pencampuran yang menerus. Selain itu insinerator ini dapat dioperasikan dalam
kondisi kekurangan oksigen (pirolisis).
Sedangkan kekurangannya adalah insinerator ini membutuhkan biaya yang tinggi
serta tenaga terlatih.
Gambar Rotary-klin Incinerator
c) Insinerator dengan media terfluidasi
( fluidized bed )
Teknologi fluidized bed ini diadaptasi dalam
berbagai proses karena teknologi ini mempunyai kemampuan memberikan derajad
turbelensi yang tinggi, area transfer panas yang besar untuk mencampur limbah,
oksigen dan media terfluidisasi. Dengan pencampuran yang baik antara media
inlet dengan udara berlebih rendah dan gradien temperatur yang minimal di
seluruh media akan memberikan hasil insinerasi yang baik. Waktu tinggal yang
digunakan antara 5 – 8 detik atau lebih,
pada temperatur 1400 – 1600 ºF (980 – 1650 ºC).
Gambar Fluidized Bed Incinerator
d) Insinerator Kamar Jamak
Rancangan
insinerator tradisional yang biasa digunakan adalah insinerator kamar- jamak (multiple
chamber incinerator). Ada dua jenis insinerator kamar-jamak yaitu, in-line
hearth dan retort hearth. Pada model in-line, gas pembakaran
mengalir lurus melalui insinerator, dan membelok secara vertikal ke atas,
sedang pada model retort aliran aliran gas disamping berbelok secara
vertikal tetapi juga berbelok kesamping. Model in-line berfungsi dengan
baik pada kapasitas di atas 340 Kg/jam, sedang model retort berfungsi
baik pada kapasitas di bawah 340 Kg/jam, dan biasa digunakan untuk limbah
puskesmas.
Gambar Multiple Chamber Incinerator
e) Insinerator dengan kontrol udara
Jenis
insinerator dengan kontrol udara (controlled air) adalah jenis
insinerator yang sekarang banyak dikembangkan, misalnya untuk insinerator
limbah puskesmas, yang dikenal di pasaran sebagai pembakaran secara starved
air atau secara modular atau secara pyrolytic. Sisitem ini
terdiri dari dua ruang. Ruangan pertama (bagian limbah padat) difungsikan pada
kondisi substoiciometris, sedang pada ruang kedua dikondisikan pada kondisi
udara berlebih.
Jumlah udara
pembakaran pada ruang pertama dikontrol secara ketat, biasanya dipasok sebagai
udara underfire. Proses terjadi pada ruangan ini adalah kadar air limbah
akan diuapkan, lalu bagian volatil dari limbah akan tervolatisasi dan gas-gas
volatil akan mengalir ke ruangan kedua dan karbon yang terikat (fixed carbon)
kemudian akan mengalami pembakaran. Gas hasil pembakaran dari ruang pertama
masuk ke ruang kedua kemuadian akan dibakar lagi dengan udara berlebih yang
didukung dengan adanya turbulensi pada temperatur tinggi.
Gambar Controlled
Air Insinerator
f) Single-Chamber
Incinerator
Proses
pembakaran di single-chamber incinerator
dilakukan dengan menempatkan limbah di dalam alat pemanggang kemudian
membakarnya. Panggangan terbuat dari cast
iron dan dinding dilengkapi dengan refraktor.
Insinerator ini dilengkapi dengan afterburner
dan draft control damper sehingga
dapat mengontrol proses pembakaran. Temperatur normal yang diperlukan adalah
1400oF dan waktu tinggal 0,5 detik
Gambar Single-Chamber Incinerator
Parameter Operasional
Insinerator
Destruksi limbah dalam sebuah insinerator tercapai dengan terpaparnya
limbah pada temperatur tinggi, biasanya diatas 850 ºC. Bila dirancang dan
dioperasionalkan secara tepat, maka cara ini akan memberikan hasil yang baik
dalam menghancurkan limbah berbahaya dan sekaligus mengurangi volume dan
masanya. Beberapa parameter operasional yang akan mempengaruhi terjaminnya destruksi
panas antara lain (Reinhardt , 1991):
1. Temperatur
Temperatur merupakan faktor yang
signifikan dalam menjamin destruksi yang baik bagi limbah. Efisiensi destruksi
dan penyisihan (DRE) dalam setiap insinerator akan tergantung pada
temperaturnya.
2. Waktu tinggal
Waktu tinggal adalah waktu yang
diperlukan untuk mencapai efisiensi destruksi dan penyisihan (DRE) sehingga
panasa tertentu untuk mendestruksi limbah organik menjadi CO2 dan H2O. Waktu tinggal ini
dipengaruhi besarnya volume yang masuk untuk debit aliran tertentu.
3. Turbulensi
Derajat turbulensi dapat digunakan
secara efektif untuk mencapai DRE yang diinginkan dan mengurangi kegagalan
operasional untuk memperoleh temperatur dan
waktu tinggal yang merata.
4. Tekanan
Tekanan dalam insinerator harus
diperhatikan secara serius. Bila tekanan terlalu rendah atau terlalu tinggi,
kebocoran udara dapat terjadi.
5. Pasokan Udara
Operasi sebuah insinerator didasarkan
atas reaksi komponen-komponen limbah dengan oksigen. Biasanya udara digunakan
sebagai sumber oksigen. Insinerator pada dasarnya membutuhkan oksigen yang
cukup untuk mencapai pembakaran yang sempurna.
6. Bahan konstruksi
Insinerator harus dibuat atau
dibangun dengan bahan terpilih untuk memungkinkan operasi menerus yang bebas
masalah dengan kondisi limbah yang heterogen dan berumur panjang. Bahan yang
digunakan biasanya mulai dari baja biasa sampai axotic alloy.
7. Perlengkapan tambahan
Terdapat beragam perlengkapan
tambahan, seperti:
a. After burning dibutuhkan untuk
menjamin DRE,
b. Sarana penyingkir debu, untuk
menjamin destruksi termal pada bagian padat atau lumpur.
Kriteria Pembakaran
Pada umumnya limbah
kertas (material sesulosa)
membutuhkan temperature 1400oF dengan waktu 0.5 detik untuk mencapai
pembakaran sempurna. Penetapan temperature dan waktu tinggal ditentukan
berdasarkan spesifikasi limbah. Dibeberapa Negara sendiri menetapkan untuk
limbah medis temperature yang diperlukan adalah 1800oF dengan waktu
tinggal selama 1-2 detik (Brunner, 1996 disitasi Pranata Muhammad Yuda , 2012).
Temperatur pembakaran
yang tinggi diperlukan untuk karakter limbah biomedis karena kandungan
organiknya yang tinggi pula. Hal ini diperlukan karena pada suhu tinggi materi
yang non-combustible akan meleleh dan
hancur. Pada saat suhu di atas 1800 oF, abu akan mulai terbentuk dan
kemudian akan berpindah menuju daerah dengan suplai udara yang tinggi atau
lebih dingin. Disana abu akan menggumpal membentuk bara. Abu yang mengeras ini
akan menyebabkan penyumbatan pada lubang udara, menghalangi burner yang bila
terus dibiarkan akan memyebabkan karat pada komponen insinerator untuk mencegah
hal tersebut, perlu dijaga agar kondisi temperature tidak melampaui 1800oF
(Brunner, 1996 disitasi Pranata Muhammad Yuda , 2012).
Pada
proses insinerator berlangsung melalui 3 tahap yaitu:
- Membuat air dalam sampah menjadi uap air sehingga limbah menjadi kering yang akan siap terbakar
- Terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperature belum terlalu tinggi
- Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna
Agar terjadi proses yang optimal maka
ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam menjalankan suatu insinerator,
antara lain:
- Aspek keterbakaran: menyangkut nilai kalor, kadar air, dan kadar abu dari buangan padat, khususnya sampah
- Aspek keamanan: menyangkut titik nyala, tekanan uap, deteksi logam berat dan operasional incinerator
- Aspek pencegahan pencemaran udara: menyangkut penanganan debu terbang gas toksik dan uap metalik.
Baku Mutu Insinerator
Baku mutu adalah
ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau
harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu
sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
Pengelolaan
limbah B3 dengan menggunakan incinerator harus memenuhi beberapa persyaratan seperti yang
tercantum dalam Keputusan Bapedal No. 3 tahun 1995. Peraturan tersebut mengatur
tentang kualitas incinerator dan emisi yang dikeluarkannya. Incinerator yang
diperbolehkan untuk digunakan sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki
efisiensi pembakaran dan efisiensi
penghancuran/penghilangan (Destruction
Reduction Efisience) yang tinggi. juga efisiensi pembakaran yang tinggi,
yaitu 99,99 %.
Baku Mutu DRE untuk Insinerator (KepKaBapedal 03/1995)
No
|
Parameter
|
Baku
Mutu DRE
|
1.
|
Principal Organic Hazardous
Constituent (POHCs)
|
99,99%
|
2.
|
Polychlorinated
biphenil (PCBs)
|
99,9999%
|
3.
|
Polychlorinated
dibenzofuran (PCDFs)
|
99,9999%
|
4.
|
Polychlorinated
dibenzo-p-dioksin
|
99,9999%
|
Baku Mutu Emisi Insinerator (KepKaBapedal 03/1995)
No
|
Parameter
|
Kadar Maksimum (mg/Nm3)
|
1
|
Partikel
|
50
|
2
|
SO2
|
250
|
3
|
NO2
|
300
|
4
|
HF
|
10
|
5
|
CO
|
100
|
6
|
HCl
|
70
|
7
|
Total HC (sebagai CH4)
|
35
|
8
|
As
|
1
|
9
|
Cd
|
0,2
|
10
|
Cr
|
1
|
11
|
Pb
|
5
|
12
|
Hg
|
0,2
|
13
|
Talium (Ti)
|
0,2
|
14
|
Opasitas
|
10 %
|
Teknologi Sederhana Pengolahan Air Limbah Puskesmas dan Perhitungan
Disainnya
1. Tangki septik
Tangki septik merupakan sarana
pembuangan air limbah yang sangat umum digunakan terutama di perkotaan
Indonesia. Prinsip utamanya adalah mengendapkan bahan padatan yang dikandung
air limbah dan diuraikan secara anaerobic (tanpa oksigen) di dalam tangki,
sedangkan bagian cairnya dialirkan ke bidang peresapan.
Menurut (Salvato,1992), tangki septik adalah
suatu tangki yang dirancang untuk mengalirkan air limbah dan tinja secara
perlahan sehingga padatan-padatan terpisah dan turun mengendap ke dasar tangki
dimana endapan lumpur ini akan diuraikan oleh bakteri anaerobik.
Bentuk dan
ukuran tangki septic telah ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia
03-2398-2002. Dalam tata cara perencanaan tangki septik yang dikeluarkan oleh
Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1989.
Kriteria
perencanaan tangki septik
1.
Perbandingan panjang dan lebar tangki (2:1) s/d (3:1)
2.
Lebar minimum 0,75 m
3.
Panjang minimum 1,50 m
4.
Tinggi ruang bebas (0,2 – 0,4) m
5.
Tinggi air dalam tangki adalah minimum 1m, dan
kedalman maksimum 2,1 m
6.
Waktu tinggal (1-3) hari
7.
Lumpur yang diendapkan (30-40) lt/org/tahun atau
(0,03-0,04) m3/org/tahun
8.
Waktu pengurasan lumpur, (2-3) tahun
Apabila tinggi muka air tanah < 0,5 m, maka
jamban dapat dibangun dengan system tangki septik yang ditinggikan 0,5 m dari
muka tanah asal.
Perencanaan
Volume
Dalam merencanakan ruang dan dimensi tangki
septic, maka perhitungannya adalah berdasarkan perkiraan volume yang diperlukan
·
Volume efektif tangki septic
Vef = Va + Vl
Keterangan :
Vef = volume tangki
septic, m3
Va = volume air dalam tangki septic, m3
Vl = volume lumpur yang diendapkan, m3
·
Volume air dalam tangki septic
Va = Q x Orang x td
Keterangan:
Q = kuantitas/debit air limbah, lt/org/hari
O = jumlah orang yang dilayani, org
Td = waktu tinggal, hari
·
Volume lumpur
Akibat proses pengendapan yang terjadi, maka lumpur akan terakumulasi setiap
hari, dan endapan lumpur tersebut harus dikuras secara berkala.
VL = RL x N x Orang
Keterangan:
VL = volume lumpur
RL =
rate/lajuakumulasi lumpur
= 0,03 – 0,04 m3/org/tahun
N = frekuensi pengurasan 2-3 tahun
O = jumlah orang yang dilayani, org
·
Total volume tangki septik
Volume tangki septic = vol. air limbah + vol.
lumpur + ruang bebas air
·
Dimensi tangki septik
Apabila berbagai volume di atas telah dapat
diperkirakan, maka dimensi ruang dari tangki septik dapat dihitung.
Contoh Perhitungan :
Soal 1
Jumlah pemakai adalah 80 orang. Hanya air limbah toilet yang
disalurkan ke dalam tangki septik dan dengan rata - rata kebutuhan air untuk
penggelontor = 30 l/orang/hari. Periode pengurasan adalah 2 tahun sekali.
Hitung volume dan dimensi tangki septik.
Jawaban :
1.
Debit
air limbah rata - rata :
= 2,4 m3/hari
2.
Waktu
detensi :
td = 2,5 – 0,3 log (
O.Q )
= 2,5 – 0,3 log ( 80 x 30 )
= 1.5 hari = 2 hari ( Pembulatan )
3.
Volume
air limbah
Va = Q x td
= 2,4 (m3/hari) x 1,5 hari
= 3,6 m3
4.
Volume
lumpur
Vl = 0,03 (m3/org/thn)
x 2 thn x 80
org
= 4,8 m3
5.
Volume
efektif tangki septik
Vef =
3,6 m3 + 4,8 m3
= 8,4 m3
6.
Dimensi
P = panjang
L = lebar
Tair = tinggi air
7.
Standar
teknis perencanaan :
Panjang : Lebar tangki septic
P : L = ( 2 : 1 ) atau ( 3:1 )
Tinggi air atau Tair = minimal 1 meter dan
maksimal 2,1 meter
Bila digunakan : P = 2 L dan Tair = 1,2 meter
Maka :
2L2 = 7 m2
L2 = 3,5 m2
Sehingga diperoleh :
Lebar tangki septic L = 1,9 m
Panjang tangki septic P = 2 x 1,9 = 3,8 m
Tinggi tangki septic T = Tair + 0,3 m ( tinggi ruang
bebas air )
= 1,5 m
Untuk nilai
time detention itu di sesuaikan dengan asal muasal air yang masuk kedalam
Tangki Septick , adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut ini :
Untuk tangki septik hanya menampung
limbah WC (terpisah)
Th = 2,5 – 0,3 log
(P.Q) > 0,5
Untuk
tangki septik yang menampung limbah WC + dapur + kamar mandi (tercampur)
Th = 1,5 – 0,3 log (P.Q) > 0,2
2.
Imhoff
Tank
Prinsip kerja
dan proses yang terjadi pada Imhoff tank mirip dengan yang terjadi pada Septic
tank, ialah pengendapan dan dilaniutkan dengan stabilisasi lewat proses
anaerobik.
Misalnya
effluent dari septic tank masih bau karena kemungkinan terjadinya kontak antara
limbah yang baru masuk dengan sludge / lumpur.
Pada Imhoff tank
hal tersebut dihindari dengan memisahkan limbah yang masuk dan endapan lumpur
yang terjadi. Pemisahan tersebut dilakukan dengan membuat konstruksi tirus
(funnel type).
Gambar.
Imhoff Tank
Terdapat
beberapa patokan yang perlu diperhatikan dalam desain Imhoff tank, diantaranya
adalah:
1.Chamber 2 atau
kompartemen2 yang terletak dibagian atas (bagian yang tirus) harus di desain
untuk minimum 2 jam HRT pada Peak Flow.
2.Sedangkan
hydraulic load nya harus kurang dari 1.5 m3/jam per m2 luas area permukaan dari
chamber 2.
Contoh
Perhitungan :
Overflow Rate =
2,08 m3/jam
Kualitas air
limbah tersebut mempunyai BOD = 340 mg/liter dan COD = 630 mg/Iiter
Hydraulic
retention time (HRT) pada chamber 1 atau flow tank minimum adalah 1.5 jam
Pimpinan proyek
menetapkan interval pengurasan (desludging interval) adalah sekali setiap tahun
atau sekali setiap 12 bulan.
Uji coba empiris
di negera berkembang dan ratio SS/COD terendap tersebut lazimnya berkisar
antara 0.35 – 0.45
Perencanaan
Lebar Chamber 1 = 1,3 m
Untuk desludging
interval 12 bulan diperoleh faktor 83%.
Maka volume sludge
(dalam liter) dibanding BOD removal setiap gram nya adalah = 0.005 liter x 83%
=0.0042 liter
Jumlah sludge
selama periode pengurasan (desludging interval) dengan demikian menjadi =12
bulan x 30 hari x 25 m3/hari x 0.0042 liter x (330 – 235.5)/1000 = 3.6 m3
Maka langkah
berikutnya adalah memperkirakan tinggi dari timbunan sludge tersebut.
Tinggi dari
timbunan sludge
Volume
sludge/luas = 3.6 m3/(2.24 m x 2.83m) = 0.57 meter
Dengan kata lain
selama 12 bulan (interval desluiging) timbunan lumpur yang akan terjadi
tebalnya adalah 0.57 meter.
Ketinggian Imhoff tank (sampai posisi pipa outlet =
0.57 meter (tinggi sludge) + 1.1 meter + 0.3 meter + 0.3 meter (freeboard)
= 2.27 meter
3.
Anaerobic
Baffle Reactor
Merupakan pengembangan dari sistem UASB (Upflow Anaerobic
Sludge Blanket) yang mana pengadukan di dalam reaktor terjadi dengan bantuan
rangkaian dinding (baffle). (Sasse,1998)
Kelebihan : sederhana, dapat mengolah limbah dengan
berbagai karakteristik, dan stabil terhadap shock loading.
Anaerobic
Baffled Reactor (ABR) merupakan sistem pengolahan tersuspensi anaerob, dalam
biorektor berpenyekat. Pertumbuhan tersuspensi (suspended growth) lebih
menguntungkan dibanding pertumbuhan melekat (attached growth) karena tidak
membutuhkan media pendukung serta tidak mudah tersumbat.
Anaerobic
Baffled Reactor (ABR) dikembangkan oleh McCarty dan rekan-rekannya di
Universitas Stanford (McCarty, 1981 dalam Wang, 2004). ABR merupakan UASB
(Upflow Anaerobic Sludge Blanket) yang pasang secara seri, namun tidak membutuhkan
butiran (granule) dalam operasinya (Barber and Stucky 1999 dalam Wang, 2004),
sehingga memerlukan periode start-up lebih pendek (Movahedyan, 2007).
Serangkaian sekat vertikal dipasang dalam ABR membuat limbah cair mengalir
secara under and over dari inlet menuju outlet, sehingga terjadi kontak antara
limbah cair dengan biomassa aktif (Nachaiyasit and Stucky, 1997 dalam
Movahedyan, 2007). Profil kosentrasi senyawa organik bervariasi sepanjang ABR
sehingga menghasilkan pertumbuhan populasi mikroorganisme berbeda pada
masing-masing kompartemen (Foxon et.al.) tergantung pada kondisi lingkungan
spesifik yang dihasilkan oleh senyawa hasil penguraian (Nachaiyasit and Stucky,
1997 dalam Bell, 2002). Bakteri dalam bioreaktor mengapung dan mengendap sesuai
karakteristik aliran dan gas yang dihasilkan, tetapi bergerak secara horisontal
ke ujung reaktor secara perlahan sehingga meningkatkan cell retentation time.
Limbah cair berkontak dengan biomassa aktif selama mengalir dalam reaktor,
sehingga efluen terbebas dari padatan biologis (biological solids). Konfigurasi
tersebut mampu menunjukkan tingkat penyisihan COD yang tinggi (Grobicki and
Stucky, 1991 dalam Wang, 2004).
Kelebihan-kelebihan
utama ABR adalah :
1. ABR mampu memisahkan proses
asidogenesis dan metanogenesis secara longitudinal yang memungkinkan reaktor
memiliki sistem dua fase (two stage), tanpa adanya masalah pengendalian dan
biaya tinggi (Bell, 2002; Barber and Stucky 1999 dalam Movahedyan, 2007).
2. Desainnya sederhana, tidak memerlukan
pengaduk mekanis, biaya konstruksi relatif murah, biomassa tidak memerlukan
karakteristik pengendapan tertentu, lumpur yang dihasilkan rendah, SRT tinggi
dicapai tanpa media pendukung serta tidak memerlukan sistem pemisahan gas
(Bell, 2002). Peningkatan volume limbah cair tidak masalah, bahkan memungkinkan
operasional intermitten, selain itu ABR stabil terhadap adanya beban kejut
hidrolik dan organik (hyhraulic and organik shock loading) selain itu
konfigurasi ABR melindungi biomassa dari senyawa toksik dalam influen (Barber
and Stuckey, 1999 dalam Bell, 2002).
3. Selain itu pola hidrodinamik ABR
dapat mereduksi terbuangnya bakteri (bacterial washout) dan mampu menjaga
biomassa tanpa penggunaan fixed media (Grover et.al, 1999 dalam Movahedyan,
2007). Pemisahan dua fase menyebabkan peningkatan perlindungan terhadap senyawa
toksik dan memiliki ketahanan terhadap perubahan parameter lingkungan seperti
pH, temperatur dan beban organik (Barber and Stucky, 1999 dalam Movahedyan,
2007).
Sedangkan
kelemahan dari desain reaktor bersekat adalah bioreaktor harus dibangun cukup
rendah untuk mempertahankan aliran ke atas (upflow) cairan maupun gas (Barber
and Stucky, 1999 dalam Bell, 2002).
Untuk
meningkatkan kinerja ABR, perlu dipertimbangkan beberapa aspek yang berkaitan
dengan struktur mikroorganisme yang akan terbentuk dalam reaktor, yaitu :
kecepatan aliran permukaan, waktu kontak, laju pembebanan organik,
karakteristik limbah cair, jenis bibit lumpur yang digunakan, suhu, pH dan
alkalinitas, serta keberadaan polimer dan kation seperti Ca, Mg dan Fe.
Kriteria perencanaan:
Organic Loading (OL)
= 1 – 8 kg COD/m3
Hydraulic
retention time = 2 – 8 jam
Hydraulic
loading rate = 16,8 – 38,4 m3/m2.hari
Kecepatan aliran permukaan (Vup) = 0,7 – 1,7 m/jam
(Mc Carty & Bachman, 1981)
Contoh Perhitungan :
Direncanakan:
Q rata-rata = 30 m3/hari
θ = 2 jam
Lebar bak
= 1 m
Konsentrasi substrat influen (So) = 176,53 mg/l
Volume (V) = 30 m3/hari x 2 jam x 1hari/24jam = 2,5 m3
HLR = Q :
Asurface
Asurface = 30 m3/hari : 16,8 m3/m2.hari
Asurface = 1,8 m2
Luas (A) = panjang x lebar
1,8 m2 = panjang x 1 m
Panjang Bak = 1,8 m
Kedalaman (h) = V : Asurface = 2,5 m3 : 1,8 m2 =
1,4 m
Cek Volume = 1,8 m x 1 m x 1,4 m = 2,52 m3
Direncanakan ABR dibagi atas 4 kompartemen dan
panjang masing – masing kompartemen sebesar 0,45 m
Gambar. Anaerobic Baffle
Reactor
4. Desinfeksi
Desinfeksi adalah perusakan/pemberantasan mikroorganisme patogen dan non
patogen yang berupa virus, bakteri dan protozoa. Zat kimia yang digunakan pada
proses desinfeksi disebut desinfektan. Menurut Green dan stummpf perusakan
mikroorganisme oleh desinfektan misalnya klorin karena desinfektan tersebut
mampu bereaksi dengan enzim yang essensial untuk proses metabolisme sel hidup.
Sel – sel ini akan mati ketika enzim – enzim tersebut diinaktivasi. Perusakan
enzim juga lewat radikal bebas. Desinfeksi secara umum dikelompokkan dengan
bebarapa cara konvensional yaitu menggunakan zat kimia sebagai desinfektan,
ozon, iradiasi ultraviolet, iradiasi gamma dan cahaya berkas elektron.
Desinfeksi secara konvensial
§
Senyawa yang bersifat oksidator. Yang
termasuk senyawa oksidator adalah halogen, kalium permanganat, hidrogen
peroksida dan klordioksida.
§
Ion logam.
§
Alkali dan asam. Bakteri patogen tidak
dapat hidup di dalam air yang sanagt asam maupun absa yaitu pada pH > 11
atau pH < 3
§
Senyawa kimia aktif permukaan. Surfaktan
dapat digunakan sebagai disinfektan.
Diantara
hal–hal tersebut senyawa klorinlah yang paling sering digunakan. Senyawa klorin
tersebut antaar lain asam hipoklorit (HOCL) , ion hipoklorit (OCL) dan molekul
klorin. Diantara senyawa klorin tersebut asam hipokloritlah yang paling efektif
karena mampu menembus dinding mikroorganisme. Didalam air asam hipoklorit akan
berdisosiasi membentuk ion hipoklorit.
HOCL
OCl- + H+
Reaksi ini merupakan
reaksi kesetimbangan. Jika didalam air sangat asam (pH rendah ) maka
kesetimbangan akan bergeser ke kiri, sehingga konsentrasi HOCL didalam larutan
tinggi dan sebaliknya. Kenaikan pH menyebabkan persentasi asam hipoklorit dalam
air menurun dan persentasi ion hipoklorit di dalam air meningkat. Penurunan pH
dari 7,6 ke pH 6,5 mampu menaikkan daya inaktivasi sampai 150 %.
Air yang
didisinfeksi dengan klor sebaiknya bebas dari senyawa ammonia. Hal ini karena
adanya ammonia menyebabkan terjadinya senyawa nitrogen triklorida (NCl3)
atau dikloramin (NHCl2) yang sangat berbau, jika dosisnya
tidak tepat dan belum mencapai titik balik (break point) klorinasi. Reaksi yang
terjadi :
NH4+ + HOCl NH2Cl
+ H2O + H+
NH2Cl + HOCl NHCl2 + H2O
NHCl2 + HOCl NCl3
+ H2O
2NHCl2 + HOCl N2
+ 3HCL + H2O
Klor
sisa setelah tercapai break point itulah yang sering digunakan dalam air untuk
proses disinfeksi. Denagn demikian maka dosis klor menajdi terlalu tinggi.
Penggunaan klor yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terbentuknya senyawa
tihalometan dan organoklorin dan senyawa – senyawa ini bersifat karsinogenik.
Desinfeksi Air Dengan Ozon
Ozon
adalah pengoksidasi kuat sehingga mampu melakukan pengrusakan bakteri antara
600 sampai 3000 kali lebih kuat dari pada klorin. Disamping itu penggunaan ozon
untuk desinfeksi tidak dipengaruhi oleh pH air, sedangkan klorin sangat
tergantung pada pH air. Prinsip mekanisme produksi ozon adalah eksitasi dan
percepatan elektron yang tidak beraturan dalam medan listrik tinggi. O2
yang melewati medan listrik yang tinggi berupa arus bolak-balik akan
menghasilkan lompatan elektron yang bergerak dari elektroda yang satu ke
elektroda yang lain. Jika elektron mencapai kecepatan yang cukup maka elektron
ini dapat menyebabkan molekul oksigen spliting ke bentuk atom oksigen radikal
bebas. Atom-atom ini kemudian bergabung dengan molekul O2 membentuk
O3 (ozon)
O2 Û 20*
208 + 1/20 Û O3
O3 + H2O Û HO*2
+ *OH + H+
Desinfeksi Air Dengan Ultraviolet
Dapat berlangsung melalui 2 cara yaitu cara langsung dan interaksi tidak
langsung. Pada interaksi langsung sinar uv berperan sebagai desinfektan. Daerah
yang berperan penting dalam efek germicial adalah pada uv-ac, yaitu pada
280-220 nm. Sinar uv dalam area ini merupakan area yang mampu mematikan semua
mikroorganisme .
Proses
desinfeksi dengan memanfaatkan iradiasi uv melalui interaksi tidak langsung
yaitu dengan digunakannya zat pengoksidasi H2O2 atau
semikonduktor (TiO2). Interaksinya sebagai berikut
uv
H2O2 OH-
+ OH + HO2 + H+
254 nm
sinar
uv mengeksitasi zat pengoksidasi menghasilkan radikal hidroksil (OH) dan super
hidroksil (HO2). Interaksi radiasi denagn semikonduktor akan menyebabkan
elektron dari pita valensi lompat ke pita konduksi. Akibat perpindahan ini akan
berbentuk lubang positif (h+) dan elektron pada pita konduksi (e-).
hv
TiO2 TiO2
(e-) + TiO2 (h+)
Desinfeksi Air Dengan Menggunakan Iradiasi Gamma dan berkas Elektron
Yang
termasuk radiasi pengion disini adalah sinar gamma dan partikel beta atau
elektron bertenaga tinggi. Sinar gamma dihasilkan oleh isotop Cobalt-60, dimana
isotop ini meluruh menghasilkan isotop stabil Nikel-60
60Co 60Ni + g
Temperatur,
senyawa organik dan pH berpengaruh terhadap proses klorinasi. Peningkatan suhu
akan menghasilkan pembunuhan bakteri yang lebih cepat. Jika senyawa organik
terdapat dalam air disinfektan akan bereaksi dengan senyawa organik ini dan
kemuadian akan mengurangi konsentrasi disinfektan yang efektif. Pada pH tinggi
direkomendasikan memakai ozon dan uv .
1.Perencanaan
-
Desinfeksi
dengan kaporit Ca(OCl)2
-
Kadar
klor dalam kaporit = 60 %
-
r kaporit = 0,86 kg/l
-
konsentrasi
larutan = 5%
-
DPC = 1,3 mg/l
-
sisa
chlor yang diharapkan = 0,4 mg/l
-
pembuatan
larutan kaporit = 3 kali sehari ( 8 jam
sekali )
2. Perhitungan
-
dosis
chlor = DPC + sisa chlor = 1,3 mg/l +0,4 mg/lt = 1,7 mg/lt
-
kebutuhan
kaporit
w kaporit = Q x dosis x
kemurnian
= 100 lt/dt x 1,7 mg/lt x
100/60
= 283,33 mg/dt = 24,5
kg/hr
-
Debit
kaporit (Q kap) =
-
Debit
pelarut ( Q air ) =
-
Debit
larutan kaporit = Q kap + Qair
= 28,5 + 541
= 569,5 lt/hr
Q larutan =
3.Kehilangan tekanan
-
direncanakan
panjang pipa = 1 m dengan diameter (D)=25 mm =0,025 m
-
Q
pipa = 24 lt/jam =6,67.10-6 m3/dt
v pipa =
digunakan pipa yang lebih
kecil (D)=3/4” dan
menempatkan enriser
v pipa =
-
kehilangan
tekanan dalam pipa
hf =
= 0,00009 m
-
kehilangan
tekan pada pipa inlet,valve dan outlet
hf inlet = Kinlet x
hf outlet = Koutlet x
hf total = [(Kinlet +2 Kv +Koutlet)
)+hfp]
= (1+5+1)
= 0,0003 m
4.Dimensi bak pelarut
-
volume
bak = volume larutan
-
volume
efektif untuk pembubuhan kaporit 283,33 mg/dt = 190lt =0,190 m3
-
dimensi
bak pelarut = panjang (p) : lebar (l) : tinggi (h)
= 1 : 1 : 1
-
volume
bak = p x l x h = p3
p3 =0,190 m3
p = 0,57 m
jadi p = l = h=0,57 m
h total = h bak + hf + h freeboard
= 0,57 + 0,00009 + 0,2
= 0,77 m
5.Perhitungan pH
-
Dosis
Chlor yang digunakan =1,7 mg/lt dengan kadar chlor dalam kaporit 60%
-
Kaporit
yang ditambahkan =100/60 x 1,7 mg/lt = 3 mg/lt = 2,0.10-5 mol/lt
-
Reaksi
yang terjadi =
Ca(OCl)2 +
H2O Ca(OH)2
+ HOCl
HOCl 2H+ +OCl-
2H+ + 2HCO3 2H2CO3 2CO2 +
H2O
Dengan penambahan kaporit sebanyak
2,1.10-5 mol/lt akan terjadi penambahan:
[Ca2+] = 2,0.10-5
mol/lt = 0,80 mg/lt
[CO2] = 4,0.10-5
mol/lt = 1,76 mg/lt
[HCO3] = 4,0.10-5
mol/lt = 2,44 mg/lt
-
Konsentrasi
pada awal air limbah
[Ca2+] = 545 mg/lt
[CO2] = 55 mg/lt
[HCO3-] =250
mg/lt
-
Konsentrasi
di akhir proses desinfeksi
[Ca2+] total = 0 + 0,80 = 0,80 mg/lt
[CO2] total = 0+1,76 =1,76
mg/lt
[HCO3-] total =
0+2,44=2,44 mg/lt
[Fe2+] = 5 mg/lt
[Mn2+] = 1,5 mg/lt
Analisis parameter operasional untuk
operasi dan pemeliharaan IPAL
Agar instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dapat berfungsi
dengan baik maka harus dipelihara dan dipantau secara rutin. Pemeliharaan
meliputi proses pengolahan dan juga peralatannya. Beberapa parameter yang umum
dianalisis meliputi:
1.
Analisis Biological Oxygen Demand (BOD)
Biological Oxygen Demand (BOD) atau
Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) adalah suatu analisa empiris yang mencoba
mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di
dalam air Sedangkan angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh
bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) sebagian besar zat organik yang
terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air.
Pada
titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat bereaksi
dengan I- (iodide) untuk menghasilkan iod, iod yang terbentuk secara
kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Metode titrasi iodometri
langsung (kadang-kadang dinamakan iodimetri) mengacu kepada titrasi dengan
suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodometri tak langsung (kadang-kadang
dinamakan iodometr i), adalah berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan
dalam reaksi kimia (Dinda, 2010)
1)
Alat
dan Bahan
a. Alat
·
Botol
winkler
·
Botol
aqua sedang
·
Buret
dan statif
·
Botol
semprot
·
Erlenmeyer
·
Kaki
tiga
·
Batang
pengaduk
·
Gelas
kimia
·
Spritus
·
Sunglite
·
Pipet
sedot
·
Pipet
skala 1 ml dan 10 ml
b. Bahan
·
Air
limbah (sampel)
·
Aquades
·
Larutan
alkali iodida azida
·
Larutan
H2SO4 pekat
·
Larutan
H2SO4 4N
·
Larutan
KMnO4 0,05N
·
Larutan
H2C2O4 0,05 N
·
Larutan
MnSO4 40%
·
Larutan
Na2S2O3 0,025 N
·
Tissu
2) Prosedur Kerja
a. Pengambilan sampel air limbah di
Fakultas Sains dan Teknologi menggunakan botol winkler tanpa gelembung
b. Menambahkan 2 mL larutan MnSO4 40%,
dan mendiamkan larutan selama beberapa
menit untuk menghomogenkan
c. Menambahkan 2 mL alkali iodida azida,
kemudian mendiamkan hingga muncul endapan berwarna coklat dan memindahkan
larutan kegelas kimia kemudian dikocok
d. menambahkan 2 mL H2SO4 pekat hingga
endapan larut, lalu mengambil 100 mL dan
memindahkan larutan kedalam erlenmeyer
e. Larutan yang berada didalam
erlenmeyer siap untuk dititrasi dengan larutan Na2 S2 O3 0,025N
f. Menambahkan indikator amilum dan
melanjutkan kembali dengan titrasi hingga warna biru hilang, kemudian catat
volume titrasi.
2. Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)
Pemeriksaan COD dilakukan seminggu
sekali. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari pada bak Buffer Basin (BB
in/influent) dan bak effluent.
1)
Alat
dan Bahan
a)
Spectrofotometer
b)
Beaker
galss 500ml
c)
Botol
dengan tali dan pemberat
d)
Sampel
air limbah
e)
COD
reaktor
f)
Reagent
HR (High Range)
g)
Reagent
LR (Low Range)
2)
Prosedur
Kerja
a)
Reagent
HR dan LR disiapkan sebagai blangko untuk pembacaan pada Spectrofotometer.
b)
Sampel
diambil menggunakan botol yang diberi tali dan pemberat pada BB in dan effluent
c)
Sampel
dituang ke dalam beaker glass
d)
Sampel
dari BB in (influent) dan effluent ke dalam beaker glass
e)
2
ml air sampel dari BB in (influent) dimasukkan ke dalam reagent HR dan 2 ml
air sampel dari effluent ke dalam reagent LR, kemudian kocok hingga
homogen.
f)
COD
reaktor dinyalakan
g)
Reagent
standar dan sampel yang akan diperiksa COD nya dipanaskan selama 2 jam dengan
suhu 105ºC
h)
Setelah
2 jam sampel didiamkan hingga dingin
i)
Spectrofotometer
dihidupkan dan diatur untuk pengukuran COD
j)
Kemudian
sampel HR dan LR dimasukkan ke dalam Spectrofotometer dan hasil yang muncul
pada display dicatat sebagai hasil COD.
3. Pemeriksaan TSS
Pemeriksaan TSS dilakukan setiap hari.
Pengambilan sampel dilakukan pagi hari pada bak BB-in, BB-out, FBBR, bak
Settling dan bak effluent.
1)
Alat
dan Bahan
a)
Spectrofotometer
b)
Blangko
kalibrasi
c)
Beaker
glass 500ml
d)
Botol
dengan tali dan pemberat
e)
Sampel
air limbah
2)
Prosedur
Kerja
a)
Sampel
dari BB-in, BB-out, FBBR, Settling dan effluent diambil menggunakan botol yang
diberi pemberat.
b)
Sampel
dituang kedalam beaker glass
c)
Spectrofotometer
disiapkan dan dikalibrasi menggunakan blangko sebelum digunakan untuk mengukut
TSS pada sampel.
d)
Sampel
diaduk dan dimasukkan kedalam botol sampel sampai penuh
e)
Botol
sampel dimasukkan dalam Spectrofotometer yang sudah dikalibrasi
f)
Tekan
‘read’pada display Spectrofotometer, kemudian dicatat hasil yang muncul.
g)
Lakukan
bergantian pada masing-masing sampel dengan menbilas botol terlebih dahulu
menggunakan akuades sebelum memasukkan sampel.
4. Pemeriksaan pH
Pemeriksaan
pH dilakukan setiap hari. Pengambilan sampel dilakukan pagi hari
1)
Alat
dan Bahan
a)
pH
meter
b)
Beaker
glass 500ml
c)
Botol
dengan tali dan pemberat
d)
Sampel
air limbah
2)
Prosedur
Kerja
a)
Sampel
dari BB-in, BB-out, FBBR, Settling dan effluent diambil menggunakan botol yang
diberi pemberat.
b)
Sampel
dituang ke dalam beaker glass untuk mengukur pH
c)
pH
meter disiapkan
d)
Tombol
on pada pH meter dihidupkan lalu dimasukkan kedalam air sampel.
e)
Angka
yang keluar pada display pH meter dicatat sebagai nilai pH.
f)
Lakukan
bergantian untuk masing-masing sampel dengan sebelumnya alat selalu harus
dibersihkan dengan akuades sebelum dan sesudah digunakan.
5. Pemeriksaan Sisa
Klor
Klor aktif
(sisa Klor) akan membebaskan iodine I2 dari larutan kaliumiodida KI
jika pH < 8 (terbaik adalah pH < 3 atau 4), sesuai reaksi i dan ii.
Sebagai indicator digunakan kanji yang merubah warna sesuai larutan yang
mengandung iodine menjadi biru. Untuk menentukan jumlah klor aktif, iodine yang
telah dibebaskan oleh klor aktif tersebut dititrasikan dengan larutan standar
natriumtiosulfat, sesuai rekasi iii. Titik akhir titrasi dinyatakan dengan
hilangnya warna biru dari larutan. Asam
asetik HAs (CH3COOH) harus digunakan untuk menurunkan pH larutan
sampai 3 atau 4.
1)
Alat
dan Bahan
a) Alat
·
1 buret 25 ml : 1 mikrobiuret (untuk
standarisasi dan titrasi klor)
·
2 labu takar 1 l ; 1 labu takar 0,5 l
(untuk larutan standar)
·
2 beker 0,2 l, 0,5 l, dan 1 l; 1 gelas
ukur 1 l (untuk pembuatan indicator dan keperluan titrasi)
·
1 pipet 50 ml, 20 ml, 5 ml, 1 ml; 2
pipet 10 ml
·
mortir; botol kaca coklat; botol
peniris (untuk indikator)
·
kertas
pH
·
batang pengaduk kaca; karet penghisap;
pengaduk magnetis serta magnetnya
b) Reagen
·
asam asetik (glacial) yang pekat.
·
kalium iodida KI Kristal (hablur)
·
standar
natrium tiosulfat Na2S2O3 0,1 N
gunakan
labu takar 1 liter untuk melarutkan 25 g Na2S2O3.
5 H2O; isi dengan air suling sampai volume menjadi 1 liter, lalu
tambahkan beberapa ml kloroform CHCl3 supaya larutan stabil.
Kemudian, awetkan larutan standar tersebut selama minimum 2 minggu sebelum
distandarkan dan dipakai untuk pertama kali.
a. standarisasi larutan Na2S2O3
dengan metode kaliumdikromat (masa pakai larutan Na2S2O3
adalah 24 jam sebelum perlu standarisasi lagi)
·
Larutkan
4,904 g K2Cr2O7 (tanpa H2O, yang
sudah dikeringkan pada suhu 1050C selama 2 jam) dalam 1 liter air
suling. Larutan ini adalah larutan 0,10 N K2Cr2O7. simpan
larutan ini dalam botol kaca dengan tutup kaca.
·
Siapkan
kurang lebih 80 ml air suling dalam beker 0,2 liter kemudian tambahkan 1 ml H2SO4
pekat, 0,10 N K2Cr2O7 di atas dan lebih kurang
1 g KI, aduklah terus sambil menunggu selama 6 menit.
·
Titrasikan
larutan tersebut dengan 0,1 N Na2S2O3 sampai
warna kuning hamper habis (iodide telah dibebaskan).
·
Tambahkan
1 ml larutan kanji, kemudian teruskan titrasi sampai warna biru hilang pertama
kali (warna biru akan keluar lagi setelah beberapa menit), sehingga :
b. standar natriumtiosulfat 0,010 N dan
0,005 N
dari
larutan standar (pokok) natriumtiosulfat 0,1 N di dalam labu takar 0,5 l. 1 ml
larutan titran 0,01 N sesuai dengan 354,5 µg klor sebagi Cl2. Bila
kadar klor terlalu rendah untuk ditentukan dengan larutan 0,010 N maka
digunakan standar natriumtiosulfat 0,005 N sebagai titran.
c. indicator kanji
5 g
kanji dengan sedikti air suling digiling dalam mortir. Tuangkan ke dalam 1 l
air suling di dalam beker yang sedang mendidih (sterilisasi). Diamkan semalam
agar terjadi endapan dan supernatant yang akan digunakan bebas dari kekeruhan.
Tambahkan 4 g/l seng klorida (ZnCl) agar awet. Kemudian simpan dalam botol
peniris.
2)
Prosedur
Kerja
a. Volume sampel dipilih sehingga volum
titran yang dibutuhkan kurang dari 20 ml Na2S2O3
0,010 N. bagi sampel dengan kadar klor
0,5 sampai 10 mg Cl2/l volumenya diambil 500 ml; sampel dengan kadar
klor > 10 mg spasi CL2/l, perlu volum < 500 ml.
b. Tuangkan 5 ml asam asetik (glacial)
ke dalam sampel; adukalah agar pH merata dalam larutan yaitu sekitar pH 3
sampai 4. Cek dengan kertas pH, lalu tambahkan kurang lebih 1 g KI (warna
kuning akan tampak). Aduklah terus.
c. Sampel kemudian dititrasi dengan Na2S2O3
0,010 atau 0,005 N dengan buret biasa atau mikroburet (agar lebih teliti)
samapai warna kuning hamper hilang ( larutan bebas dari iodine); tambahkan 1 ml
kanji, sampel akan berwarna biru, dan lanjutkan titrasi hingga warna biru
hilang pada titik akhirtitrasi.
d. Pengaruh dari gangguan ditentukan
melalui titrasi sebuah larutan blanko. Ke dalam volume air suling sebanyak
sampel di butur 1, tambahkan 5 ml asam asetik, kurang lebih 1 g KI dan 1 ml
larutan kanji. Kalau warn abiru keluar, lakukanlah titrasi seperti pada butir
3. Kalo warna biru tidak muncul, titrasikanlah dengan 0,0282 N larutan iodine
sampai warna biru keluar; lalu titrasikanlah seperti pada butir 3. Kalau dalam
kasusu terkhir volume titran iodine adalah lebih besar daripada volum titran Na2S2O3,
mak nilai B (butir B.3) adalah negative.
e. Agar supaya analisa teliti, duplikst
dibuat untuk setiap sampel.
Perhitungan :
Klor aktif sebagai mg Cl2/l =
Keterangan :
A = ml titran Na2S2O3 untuk sampel
B = ml titran Na2S2O3 untuk blanko
(bisa positif atau negatif)
N = normality larutan titran Na2S2O3
V = volume sampel (ml)
Operasi dan Pemeliharaan Unit Pengolahan:
1. Septic Tank
·
Pengurasan
harus berkala 2-3 tahun
·
Tidak
boleh ada bahan kimia berbahaya masuk ke dalam septik
·
Lumpur
hasil pengurasan harus dibuang ke instalasi pengolahan lumpur tinja
2. Anaerobic Baffled
Reactor
·
Pengendalian
lumpur harus dilakukan di setiap kompartemen untuk mencegah busa/lapisan
kotoran (scum) terlalu tebal
·
Lumpur
harus dikuras setiap 2-3 tahun
·
Lumpur
hasil pengurasan harus dibuang ke instalasi pengolahan lumpur tinja
3. Desinfeksi
Unit disinfeksi untuk IPAL komunal
hendaknya dipakai yang sederhana saja, seperti tipe kotak atau kanal dengan
tablet klorin.
Operasional :
·
Masukkan
klorin tablet pada wadah yang disediakan
·
Atur
bukaan pintu air (gate) pada alat tersebut
·
Periksa.analisa
kandungan klorin pada efluen akhir setelah kandungan mencapai 4 ml/lt,
kencangkan baut pada gate tersebut.
Pemeliharaan :
·
Secara
berkala periksa unit desinfeksi ini dari kotoran yang menyumbat pintunya
·
Tablet
klorin dimasukkan pada wadah yang tersedia, dan klorin akan mencair secara
perlahan jika terkena aliran limbah efluen, dan secara berkala diperiksa dan
ditambahkan tablet klorinnya jika telah habis.
Jar Test dan Aplikasinya di Lapangan
1.
Pendahuluan
Pada
dasarnya, proses di dalam pengolahan air utamanya adalah untuk menurunkan kadar
kekeruhan. Kekeruhan yang terkandung di dalam air ini dapat direduksi dengan proses
koagulasi-flokulasi. Dikarenakan zat padat yang terdapat di dalam air berukuran
sangat kecil dan tidak dapat mengendap dengan cepat, sehingga diperlukan suatu
zat pembantu untuk memperbesar ukurannya agar dapat mengendap dengan cepat.
Untuk mengatasi jika kualitas air baku tidak baik, maka proses koagulasi
dilakukan dengan penambahan bahan kimia. Supaya proses berjalan dengan efektif,
maka perlu dilakukan yang diantaranya adalah tahap preklorinasi dan Jar test.
Jar test
adalah suatu metode untuk mengevaluasi proses-proses koagulasi-flokulasi.
Apabila percobaan dilakukan secara tepat, maka informasi yang diperoleh akan
berguna untuk membantu operator instalasi dalam mengoptimalkan proses-proses
koagulasi-flokulasi dan penjernihan.
Gambar Jar test
Proses jar test merupakan proses pengadukan, yang terdiri
dari pengadukan cepat (koagulasi) dan pengadukan lambat (flokulasi). Jar test
biasa digunakan pada pengolahan air limbah dan juga air minum.