Sabtu, 15 Maret 2014

Identifikasi dan Karakteristik Limbah Medis dan Pengelolaan Limbah  B3 Puskesmas (Pewadahan, Labeling, Penyimpanan, Insinerasi)


Limbah Padat Puskesmas
Makin disadari bahwa kegiatan puskesmas yang sangat kompleks tidak saja memberikan dampak positif bagi masyarakat sekitarnya, tapi juga mungkin dampak negatif berupa cemaran akibat proses kegiatan maupun limbah yang dibuang tanpa pengelolaan yang benar. Masyarakat tidak mengetahui bahwa limbah puskesmas, terutama limbah medis, merupakan limbah B3 dan pengelolaannya tidak bisa disamakan dengan limbah domestik.
Limbah padat adalah semua buangan padat yang timbul dari aktivitas manusia maupun hewan dan dibuang sebagai barang yang sudah tidak dipakai atau dikehendaki (Tchobanoglous, 1993). Limbah padat puskesmas adalah semua limbah puskesmas yang berbentuk padat sebagai akibat kegiatan puskesmas yang terdiri dari limbah medis padat dan non-medis.
Untuk limbah buangan dari puskesmas berasal dari bagian tubuh maupun jaringan manusia dan binatang, darah atau cairan darah, zat eksresi, obat-obatan maupun dari produk kimia, kain pel ataupun pakaian, juga dari jarum suntik, gunting dan benda tajam lainnya.
Limbah Padat Non Medis
Limbah puskesmas mulai disadari sebagai bahan buangan yang dapat menimbulkan gangguan kesehatan lingkungan karena berbagai bahan yang terkandung di dalamnya dapat menimbulkan dampak kesehatan dan menimbulkan cidera atau penyalahguanaan. Sampah (limbah) merupakan tempat timbulnya organisme penyakit dan menjadi sarang serangga atau tikus.
Limbah padat non-medis adalah limbah padat yang dihasilkan dari kegiatan di puskesmas di luar medis yang berasal dari dapur, perkantoran, taman, dan halaman yang dapat dimanfaatkan kembali apabila ada teknologinya.
Untuk keperluan pengelolaan tiap puskesmas dapat menyusunnya sendiri disesuaikan dengan kondisi setempat serta maksud dan kemampuan pengelolaan. Sebagai pedoman dapat merujuk pada tabel berikut:

Tabel  Pengertian Limbah Padat Menurut Sifatnya
Jenis
Pengertian
Sampah
Bahan-bahan yang tidak berguna, tidak digunakan ataupun yang terbuang
Refuse
Semua sampah padat yang meliputi garbage, rubbish, ashes, dan bangkai binatang
Garbage
Sampah mudah busuk yang berasal dari penyiapan, pengolahan, dan penyajian makanan
Rubbish
Sampah tidak mudah busuk kecuali ashes, yang terbagi dalam:
  1. Mudah terbakar, terutama bahan organis, seperti kertas, plastik dan lain-lain
  2. Tidak mudah terbakar seperti kaleng, logam, gelas, dan keramik.
Abu
Residu dari hasil pembakaran
Sampah Biologi
Sampah yang langsung dihasilkan dari diagnosa dan tindakan terhadap pasien, termasuk bahan-bahan medis pembedahan, otopsi, dan laboratorium.
  1. Sampah medis: biasanya dihasilkan diruang pasien, ruang pengobatan/tindakan, ruang perawatan, ruang bedah, ruang dressing kotor, perban, keteter, swab, plester, masker, dan lain-lain.
  2. Sampah patologis: sampah yang dihasilkan dari ruang bedah atau ruang autopsi, termasuk plasenta jaringan, organ anggota badan lain.
  3. Sampah laboratorium: sampah yang dihasilkan dari laboratorium diagnosik atau riset, meliputi sediaan/media sampel, bangkai binatang percobaan.
            Sumber : Pedoman Sanitasi Puskesmas di Indonesia,2002


Limbah Padat Medis
Puskesmas merupakan penghasil limbah medis, berbagai jenis limbah yang dihasilkan di puskesmas dan unit-unit pelayanan medis bisa membahayakan dan menimbulkan gangguan kesehatan bagi pengunjung dan terutama petugas yang menangani limbah tersebut. Maka limbah tersebut perlu pengolahan terlebih dahulu sebelum diangkut ke tempat pembuangan atau dimusnahkan dengan unit pemusnah limbah tersebut.
Limbah padat medis adalah limbah padat yang terdiri dari limbah infeksius, limbah patologi, limbah benda tajam, limbah farmasi, limbah sitotoksis, limbah kimiawi, limbah radioaktif, limbah kontainer bertekanan, dan limbah dengan kandungan logam berat yang tinggi. (Departemen Kesehatan, 2004).
Bentuk limbah padat medis bisa bermacam-macam dan secara umum yang sering menimbulkan masalah di puskesmas adalah limbah infeksius (benda tajam, spuit bekas, jarum suntik bekas, pisau bekas, bekas botol obat, sanitary napskin, pembalut, verban, blood bag, urine bag, infus bag, centeter, maag tube, sarung tangan bekas, swab, placenta, jaringan tubuh manusia), limbah citotoksik (bahan-bahan yang terkontaminasi dengan obat citotoksik: Metro trexat, 5 fluro uracyl, selam peracikan, pengangkutan atau terapi citotoksik), limbah farmasi (obat-obatan kadaluarsa, obat-obatan yang dikembalikan pasien), limbah radioaktif (bahan yang terkontaminasi dengan radio isotop yang berasal dari penggunaan medis atau riset radionucleida) (Reinhardt,1991).
Tidak semua limbah padat medis membahayakan, tetapi sebagian membahayakan sehingga memerlukan prosedur penanganan tertentu sehingga tidak menimbulkan ancaman saat penanganan, penampungan dan pengangkutan serta pemusnahannya karena alasan sebagai berikut:
a.    Volume limbah yang dihasilkan melebihi kemampuan pembuangannya.
b.    Beberapa diantara limbah tersebut berpotensi menimbulkan bahaya kepada personil yang terlihat dalam pembuangan, apabila tidak ditangani dengan baik.
c.    Limbah ini juga menimbulkan pencemaran lingkungan apabila mereka dibuang secara sembarangan dan akhirnya membahayakan atau mengganggu kesehatan masyarakat.

Sumber dan Karakteristik Limbah Padat Puskesmas
Sumber Limbah Padat Puskesmas

Sumber-sumber timbulan puskesmas dapat dilihat dalam tabel berikut:
Tabel. Sumber Timbulan Limbah Padat Puskesmas
Sumber/Area
Jenis Limbah Padat
Kantor/administrasi
Kertas
Unit obstertic dan ruang perawatan obstertic
Dressing, sponge, jaringan tubuh, termasuk kapsul perak, nitrat, jarum syrynge, masker disposable, disposable drapes, sanitary napkin, blood lanchet disposable, disposable catheter, disposable unit enema, disposable diaper dan underpad, sarung tangan disposable. 
Unit emergency dan bedah termasuk ruang perawatan
Dressing, sponge, jaringan tubuh, termasuk amputasi, ampul bekas, masker disposable, jarum dan syringe drapes, cabs, disposable blood lanchet, disposable kantong emisin, levin tubes, catheter, drainase set, kantong colosiomy, underpads, sarung bedah.
Unit laboratorium, ruang mayat, patologi, dan autopsi
Gelas terkontaminasi, termasuk pipet petri dish, wadah specimen, jaringan tubuh, organ, tulang
Unit isolasi
Bahan-bahan kertas yang mengandung buangan nasal dan spurtum, dressing dan bandages, masker disposable, sisa makanan, perlengkapan makan
Unit perawatan
Ampul, jarum disposable, dan syringe kertas dan lain-lain
Unit pelayanan
Karton, kertas bungkus, kaleng, botol, sampah dari ruang umum dan pasien, sisa makanan, buangan
Unit gizi/dapur
Sisa pembungkus, sisa makanan/bahan makanan, sayur dan lain-lain
Halaman
Sisa pembungkus, daun ranting, debu
Sumber : Pedoman Sanitasi Puskesmas di Indonesia,2002



Karakteristik Limbah Puskesmas
Karakteristik limbah padat medis sebenarnya tidak dapat dipisahkan dari karakteristik limbah padat puskesmas secara keseluruhan sehingga karakteristik limbah medis dapat dilihat berdasarkan bentuk, bahan, dan ukuran dari limbah yang ada sesuai sifat dan potensi infeksiusnya yang dapat digolongkan.
Limbah puskesmas umumnya dapat dikarakteristikkan sebagai berikut (Depkes RI,2002) :
a.    Limbah benda tajam
Limbah benda tajam adalah obyek atau alat yang memiliki sudut tajam, sisi, ujung atau bagian menonjol yang dapat memotong atau menusuk kulit, seperti jarum hipodermik, perlengkapan intravena, pipet pasteur, pecahan gelas, dan pisau bedah.
b.    Limbah infeksius
Limbah infeksius merupakan limbah yang mengandung mikroorganisme patogen yang dilihat dari konsentrasi dan kuantitasnya bila terpapar dengan manusia akan dapat menimbulkan penyakit. Kategori yang termasuk limbah ini antara lain jaringan dan stock dari agen-agen infeksi dari kegiatan laboratorium, dari ruang bedah, atau dari autopsi pasien yang mempunyai penyakit menular, atau dari pasien yang diisolasi atau materi yang kontak dengan pasien yang menjalani haemodialise (tabung, filter, serbet, gaun, sarung tangan dan sebagainya) atau materi yang berkontak dengan binatang yang sedang diinokulasi dengan penyakit menular atau sedang menderita penyakit menular.
c.    Limbah farmasi
Limbah farmasi ini dapat berasal dari obat-obat kadaluwarsa, obat-obat yang terbuang karena batch yang tidak  memenuhi spesifikasi atau kemasan yang terkontaminasi, obat-obat yang dibuang oleh pasien atau dibuang oleh masyarakat, obat-obat yang tidak lagi diperlukan oleh institusi yang bersangkutan dan limbah yang dihasilkan selama produksi obat-obatan.
d.   Limbah patologi
Limbah patologi meliputi jaringan tubuh, organ, anggota badan, placenta, darah, dan cairan tubuh lain yang dibuang pada saat pembedahan atau autopsi.
e.    Limbah citotoksik
Limbah citotoksik ini merupakan bahan yang terkontaminasi atau memungkinkan terkontaminasi dengan obat citotoksik selama peracikan, pengangkutan atau dalam terapi citotoksik. Obat citotoksik adalah obat yang memiliki kekuatan spesifik untuk menghancurkan sel tertentu, dapat bersifat mutagenik, karsinogenik, atau teratogenik dan kemungkinan besar berisiko terhadap kesehatan personel yang terpapar obat dalam jumlah kecil namun dalam waktu lama saat penanganan dan penyiapan obat tersebut. Misalnya azathioprine, klorambusil, cisplatin, 5-Fluouracil, cyclosphamide, melphalan dan metotreksat).
f.     Limbah kimia
Limbah kimia dihasilkan dari penggunaan kimia dalam tindakan medis, veterinari, laboratorium, proses sterilisasi, dan riset
g.    Limbah Radioaktif
Limbah radioaktif dapat berfase padat, cair maupun gas yang terkontaminasi dengan radionuklisida, dan dihasilkan dari analisis in-vitro terhadap jaringan tubuh dan cairan, atau analisis in-vivo terhadap organ tubuh dalam pelacakan atau lokalisasi tumor.
 Timbulan limbah dari kegiatan puskesmas bervariasi dari suatu institusi ke institusi sesuai dengan besarnya aktivitas. Limbah medis atau limbah klinis, sesuai pemahaman Departemen Kesehatan RI, adalah sampah dari pelayanan medis, perawatan gigi, bedah, farmasi, dan penelitian, pengobatan, perawatan, penelitian, pendidikan yang menggunakan bahan beracun, infeksius dan berbahaya.
Menurut Departemen Kesehatan 2002, limbah dari pelayanan kesehatan atau puskesmas dapat diklasifikasikan menjadi beberapa golongan:
  1. Golongan A
Limbah padat yang memiliki sifat infeksius paling besar berasal dari aktivitas kegiatan pengobatan yang memungkinkan penularan penyakit jika mengalami kontak dengan limbah tersebut dengan media penularan bakteri, virus, parasit dan jamur. Adapun limbah padat medis golongan ini contohnya adalah:
a.    Perban bekas pakai
b.    Sisa potongan tubuh manusia
c.    Pembalut, pampers
d.   Bekas infus atau transfuse set
e.    Sisa binatang percobaan
  1. Golongan B
Limbah padat yang memiliki sifat infeksius karena memiliki bentuk tajam yang dapat melukai dan memotong pada kegiatan terapi dan pengobatan yang memungkinkan penularan penyakit media penularan bakteri, virus, parasit, dan jamur. Adapun limbah padat medis golongan ini contohnya adalah:
a.    Spuit bekas
b.    Jarum suntik bekas
c.    Pisau bekas
d.   Pecahan botol/ampul obat
  1. Golongan C
Limbah padat yang memiliki sifat infeksius karena digunakan secara langsung oleh pasien yang memungkinkan penularan penyakit media penularan bakteri, virus, parasit, dan jamur. Adapun limbah padat medis golongan ini contohnya adalah:
a.    Parlak terkontaminasi
b.    Tempat penampungan urine terkontaminasi
c.    Tempat penampungan muntah terkontaminasi
d.   Benda-benda lain yang terkontaminasi
  1. Golongan D
Limbah padat farmasi seperti obat kadaluarsa, sisa kemasan dan kontainer obat, peralatan yang terkontaminasi bahan farmasi, obat yang dibuang karena tidak memenuhi syarat. Adapun limbah padat medis golongan ini contohnya adalah:
a.    Obat-obat kadaluarsa
b.    Kemasan obat dan bahan pembersih luka
  1. Golongan E
Limbah padat sisa aktivitas yang dapat berupa bed plan disposable, pispot, dan segala bahan yang terkena buangan pasien. Adapun limbah padat medis golongan ini contohnya adalah:
a.    Pispot tempat penampungan urine pasien
b.    Tempat tampungan muntahan pasien

Pada dasarnya pengelolaan limbah medis dapat dibagi menjadi empat yaitu (Suwargono, 2004, disitasi Manullang Paima,2008):
  1. Limbah padat atau domestik
  2. Limbah cair
  3. Limbah gas
  4. Limbah B3 (baik cair maupun padat) dibagi menjadi:
1.        Infectious waste
2.        Pathological waste
3.        Medical hazardous waste seperti limbah radioaktif, genotoksik, kimiawi, farmasi.
Menurut Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999 juncto Nomor 85 Tahun 1999 tentang Pengelolaan Limbah Bahan Berbahaya dan Beracun, yang dimaksud dengan limbah B3 adalah: “sisa suatu usaha dan / atau kegiatan yang mengandung bahan berbahaya dan/atau beracun yang karena sifat dan/atau konsentrasinya dan/atau jumlahnya baik secara langsung maupun tidak langsung, dapat mencemarkan dan/atau merusakkan lingkungan hidup, dan/atau dapat membahayakan lingkungan hidup, kesehatan, kelangsungan hidup manusia serta makhluk hidup lain”.
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 18 Tahun 1999, juncto Nomor 85 Tahun 1999 secara umum karakteristik limbah B3 adalah sebagai berikut:
1.      Mudah meledak
Limbah yang pada suhu dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat meledak atau melalui reaksi kimia maupun fisika dapat menghasilkan gas dengan suhu dan tekanan tinggi yang merusak lingkungan sekitarnya dengan cepat.
2.      Mudah terbakar
Limbah dikatakan mudah terbakar apabila memiliki salah satu sifat sebagai berikut:
a.    Limbah yang berupa cairan, mengandung alkohol kurang dari 24% volume atau pada titik nyala tidak lebih dari 60oC (140oF) akan menyala jika kontak dengan api, percikan api atau sumber nyala lain pada tekanan udara 760 mmHg.
b.    Limbah yang bukan berupa cairan, jika pada temperatur dan tekanan standar (25oC, 760 mmHg) dapat menyebabkan kebakaran melalui gesekan, penyerapan uap air atau perubahan kimia secara spontan dan apabila terbakar dapat menyebabkan kebakaran yang terus menerus.
c.    Limbah yang bertekanan dan mudah terbakar.
d.   Limbah pengoksidasi.
3.      Bersifat reaktif
Limbah bersifat reaktif jika memiliki salah satu sifat sebagai berikut:
a.    Limbah yang pada keadaan normal tidak stabil dan dapat menyebabkan perubahan tanpa peledakan.
b.    Limbah yang dapat bereaksi hebat dengan air.
c.    Limbah yang apabila bercampur dengan air berpotensi menimbulkan ledakan, menghasilkan gas, uap atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan bagi kesehatan manusia dan lingkungan.
d.   Merupakan limbah sianida, sulfida atau amonia yang pada kondisi pH antara 2 – 12,5 dapat menghasilkan gas, uap atau asap beracun dalam jumlah yang membahayakan kesehatan manusia dan lingkungan.
e.    Limbah yang dapat mudah meledak atau bereaksi pada suhu dan tekanan standar.
f.     Limbah yang menyebabkan kebakaran karena melepas atau menerima oksigen atau limbah organik peroksida yang tidak stabil dalam suhu tinggi.
4.      Beracun
Beracun berasal dari limbah yang mengandung pencemar bersifat racun bagi manusia atau lingkungan yang dapat menyebabkan kematian atau sakit serius apabila masuk ke dalam tubuh melalui pernafasan, kulit atau mulut.
5.      Menyebabkan infeksi
Infeksi merupakan limbah yang berasal dari organ tubuh manusia yang diamputasi, cairan dari tubuh manusia yang terkena infeksi, limbah dari laboratorium atau limbah lainnya yang terinfeksi kuman penyakit yang dapat menular. Limbah ini berbahaya karena mengandung kuman penyakit seperti hepatitis dan kolera yang ditularkan pada pekerja, pembersih jalan, dan masyarakat di sekitar lokasi pembuangan limbah.
6.      Bersifat korosif
Limbah bersifat korosif apabila mempunyai salah satu sifat sebagai berikut:
a.       Menyebabkan iritasi (terbakar) pada kulit.
b.      Menyebabkan proses pengkaratan pada lempeng baja (SAE 1020) dengan laju korosi lebih besar dari 6,35 mm/tahun dengan temperatur pengujian 55oC.
c.       Mempunyai pH sama atau kurang dari 2 untuk limbah bersifat asam dan sama atau lebih besar dari 12,5 untuk yang bersifat basa.

Proses Pengelolaan Limbah Padat
Limbah Padat Non Medis
a.      Pemisahan dan Pewadahan
Pemisahan sampah adalah langkah yang mendasar dalam pengelolaan sampah medis, mulai dari pemilahan sampah medis dan domestik, serta pemilahan sejak dari tangan pertama. Cara penampungan dan pengumpulannya harus jelas agar sampah tidak tercampur dan sulit diurus. Tercampurnya sampah medis dengan sampah domestik akan menyebabkan semuanya menjadi limbah B-3 sehinga ongkos penangannya meningkat. Pemilahan yang baik akan mengurangi jumlah sampah yang harus dibakar.
Untuk proses pewadahan puskesmas harus menyediakan tempat penampungan sampah/ kantong sampah dengan warna dan tanda khusus. Untuk memudahkan pengenalan berbagai jenis limbah yang akan dibuang, digunakan pemisahan dengan kantong-kantong spesifik (biasanya dengan warna yang berbeda dan pemberian label).
Limbah yang telah dilakukan pemilahan dan pewadahan dimasukkan kedalam kontainer-kontainer logam yang tahan air dan ditutup rapat sehingga tidak diaduk-aduk atau diganggu pemulung sebelum diangkut.
Adapun persyaratan pewadahan limbah padat antara lain (Departemen Kesehatan, 2004):
a.          Pewadahan limbah padat non-medis harus dipisahkan dari limbah medis padat dan ditampung dalam kantong plastik warna hitam.
b.         Setiap tempat pewadahan limbah padat harus dilapisi kantong plastik warna hitam sebagai pembungkus limbah padat dengan lambang ”domestik” warna putih.
c.          Bahan tidak mudah berkarat.
d.         Kedap air terutama untuk menampungan sampah basah.
e.          Bertutup rapat.
f.          Mudah dibersihkan.
g.         Mudah dikosongkan atau diangkut.
h.         Tidak menimbulkan bising.
i.           Tahan terhadap benda tajam dan runcing.

b.      Pengangkutan Limbah Padat
Pengangkutan sampah dimulai dengan pengosongan bak sampah di setiap unit dan diangkut ke pengumpulan lokal atau ke tempat pemusnahan. Pengangkutan biasanya dengan kereta, sedangkan untuk bangunan bertingkat dapat dibantu dengan menyediakan cerobong sampah.
Untuk merencanakan pengangkutan sampah puskesmas perlu mempertimbangkan hal-hal sebagai berikut (Departemen Kesehatan,2002):
a.       Penyebaran tempat penampungan sampah
b.      Jalur jalan dalam puskesmas
c.       Jenis dan kapasitas sampah
d.      Jumlah tenaga dan sarana yang tersedia
Alat pengangkutan sampah di puskesmas dapat berupa gerobak atau troli dan kereta yang harus memenuhi syarat yang ditetapkan oleh Depertemen Kesehatan RI sebagai berikut:
a.       Memiliki wadah yang mudah dibersihkan bagian dalamnya serta dilengkapi dengan penutup.
b.      Harus kedap air dan mudah untuk diisi dan dikosongkan.
c.       Setiap keluar dari pembuangan akhir selalu dalam kondisi bersih.
Peralatan-peralatan tersebut harus jelas dan diberi label, dibersihkan secara teratur dan hanya digunakan untuk mengangkut sampah. Setiap petugas hendaknya dilengkapi dengan alat proteksi dan pakaian kerja khusus, petugas pengankutan harus menggunakan perlengkapan seperti: pakaian kerja khusus, sarung tangan yang terbuat dari bahan neophrane, masker, topi pengaman, dan sepatu boot.

c.       Pembuangan Limbah Padat
Pembuangan limbah padat berdasarkan Departemen Kesehatan RI tahun 2002 dapat ditempuh melalui dua alternatif:
1)      Pembuangan dan pemusnahan limbah padat medis dan non medis secara terpisah. Pemisahan ini dimungkinkan bila Dinas Kesehatan dapat diandalkan sehingga beban puskesmas tinggal memusnahkan sampah medis.
2)      Pembuangan dan pemusnahan limbah padat medis dan non medis dijadikan satu, dengan demikian puskesmas harus menyediakan sarana yang memadai.
Untuk limbah padat non medis atau biasa disebut sampah domestik diperlukan suatu kontruksi tempat pengumpulan sampah sementara antara limbah yang dapat dimanfaatkan dengan limbah yang tidak dapat dimanfaatkan kembali.. Tempat tersebut tidak merupakan sumber bau, dan lalat bagi lingkungan sekitarnya dilengkapi saluran untuk cairan lindi. Terbuat dari dinding semen atau dengan kontainer logam yang sesuai dengan persyaratan umum yaitu kedap air, mudah dibersihkan dan berpenutup rapat. Ukuran hendaknya tidak terlalu besar sehingga mudah dikosongkan. Apabila jumlah sampah yang ditampung cukup banyak, maka perlu penambahan jumlah kontainer.

Limbah Padat Medis
1.      Pemisahan dan Pewadahan
Cara penting untuk mengurangi resiko dalam menangani limbah adalah menggunakan pembungkus atau pewadahan yang tepat, yaitu dengan menangani limbah sejak dari sumber timbulnya ke suatu wadah (container). Bila hal ini dilaksanakan maka kontak selama penanganan limbah seperti saat sortir dan repacking yang beresiko terjadi penularan dapat dihindari. Faktor yang mempertimbangkan dalam menentukan wadah atau kontainer untuk limbah infeksius adalah :
a.    Jenis limbah
b.    Prosedur dalam penanganan
c.    Prosedur dalam pengumpulan
d.   Prosedur dalam penyimpanan
e.    Pengolahan limbah
f.     Transport limbah bila menggunakan pengolahan offsite
Pertimbangan pertama adalah mengetahui tipe limbah infeksius, dimana dapat digolongkan menjadi tiga tipe, yaitu: limbah benda tajam, limbah padat, dan cair. Ketiganya memiliki perbedaan besar secara fisik, kimia, dan resiko yang dapat ditimbulkan sehingga persyaratan dalam pewaadahan dan penanganannya pun berbeda (Reinhard, 1991).
A.    Limbah Benda Tajam
Pemanfaatan kontainer khusus bagi benda tajam sangat penting untuk mencegah pekerja menangani limbah terluka akibat terkena benda tajam. Faktor lain yang dipertimbangkan adalah kesehatan di lingkungan sekitar. Oleh karena itu pewadahan limbah benda tajam harus memiliki kriteria antara lain:

1.    Tahan Tusukan
Definisi kontainer ini adalah kemampuannya untuk menahan benda tajam terhadap dinding selama penanganan. Ketahanan terhadap tusukan merupakan masalah penting untuk memastikan kontainer aman. Untuk menjaga kondisi kontainer, pembuangan tidak boleh melampaui kapasitasnya.
2.    Impermeabilitas (Impermeability)
Kontainer haruslah kedap atau tembus air, sehingga adanya sisa cairan yang terkandung didalam alat suntik, infuse, dan alat-alat lain tidak tumpah atau tercecer dari kontainer.
3.    Kekakuan (Rigidity)
Rigidity atau kekakuan bahan kontainer akan dapat menahan adanya tusukan benda tajam di dalamnya dan bentuknya tidak akan berubah sehingga mudah ditangani.
4.    Penandaan
Penandaan diperlukan guna mengidentifikasi kontainer yang berisi limbah padat infeksius. Penandaan yang biasa digunakan warna merah untuk limbah biohazard (infeksius).
B.     Pewadahan Limbah Padat Infeksius
Pewadahan limbah padat yang digunakan adalah dengan bungkus plastik agar dapat menampung limbah tanpa terjadi tumpahan. Adapun persyaratan kantong untuk limbah padat antara lain:
1.      Impermeabilitas (Impermeability)
Meskipun limbah padat, sering kali limbah ini masih menyimpan material basah. Untuk menghindari terjadinya kebocoran dan tumpahan perlu pawadahan yang kedap atau tembus air, yaitu dengan kantong plastik.
2.      Kuat
Kantong plastik yang digunakan harus kuat untuk menampung limbah padat sehingga tidak pecah atau sobek. Pada saat pengisian tidak boleh melebihi muatan dan harus dihindari dari benda tajam. Adapun kekuatan plastik tidak ada ketentuan, tergantung kebutuhan.
3.      Penandaan
Seperti halnya limbah benda tajam, pewadahan limbah padat juga diberi warna merah-orange serta simbol. Perlakuan standarisasi kantong dan kontainer seperti dengan menggunakan kantong yang bermacam warna yang telah ditetapkan dalam Kepmenkes 1204/Menkes/SK/X/2004  antara lain:
1.    Sampah infeksius: kantong berwarna kuning dengan simbol biohazard yang telah dikenal secara internasional berwarna hitam.
2.    Sampah citotoksik: kantong berwarna ungu dengan simbol limbah citotoksik.
3.    Sampah radioaktif: kantong berwarna merah dengan simbol radioaktif yang dikenal secara internasional.

C.    Pewadahan Limbah Cair Infeksius
Ada berbagai cara untuk meminimalisasikan resiko bahaya dari limbah cair infeksius. Pemilihannya tergantung pada pengolahan yang diperlukan, cara pemindahan dan seberapa jauh harus dipindahkan untuk diproses. Alat yang diperlukan untuk pemindahan limbah cair yaitu dengan botol tertutup dan dilindungi dengan adanya kontainer sekunder untuk menjaga botol-botol tersebut dari kemungkinan kecelakaan.
Limbah cair dapat diolah menggunakan sterilisasi, insinerator, tetapi pada umumnya limbah cair akan disalurkan secara langsung ke suatu instalasi pengolahan air limbah puskesmas tersendiri sesuai dengan limbah cair yang dihasilkan. Sedangkan untuk limbah cair yang diinsinerasi, maka pewadahannya menggunakan katong plastik agar mudah dalam pembakaran sedang penggunaan gelas, logam harus dihindari karena akan menghambat proses yang terjadi dalam insinerator (Reinhardt, 1991).

  1. Pengangkutan
Proses pewadahan perlu diperhatikan agar limbah medis tidak mencemari lingkungan. Kereta dorong sering digunakan dalam pemindahan limbah medis ke tempat pengolahan secara onsite (insinerator). Jenis kereta dorong yang digunakan tergantung dengan jenis limbah yang diangkut dan kontainernya (Reinhardt, 1991). Adapun syarat dari pengumpul antara lain:
1.       Penjadwalan secara rutin pembersihan dan disinfeksi dari kereta pengumpul.
2.       Mengatur pengumpulan berdasarkan waktu pembuangan, kapasitas penyimpanan, dan kapasitas pengolahan.
3.       Membuat rute pengumpulan sederhana.
4.       Kereta dorong atau troli harus didesain sehingga:
1)      Permukaan harus licin, rata, dan tidak tembus.
2)      Tidak akan menjadi sarang serangga.
3)      Mudah dibersihkan dan dikeringkan.
4)      Sampah tidak menempel pada alat angkut.
5)      Sampah mudah diisikan, diikat, dan dituang kembali.
Sedangkan untuk pengolahan offsite diperlukan prosedur pelaksanaan yang tepat dan harus diikuti oleh semua petugas yang terlibat. Untuk limbah medis harus diangkut dengan kontainer sesuai persyaratan kontainer. Untuk pengangkutannya diperlukan kendaraan yang hanya dipakai untuk mengangkut limbah medis saja. Persyaratannya antara lain, kendaraan hendaknya mudah memuat dan membongkar serta mudah dibersihkan dan dilengkapi dengan alat pengumpul kebocoran. Ruang sopir secara fisik harus terpisah dari limbah. Desain kendaraan sedemikian rupa sehingga sopir dan masyarakat terlindungi bila sewaktu-waktu terjadi kecelakaan. Kendaraan juga harus dipasang kode atau tanda peringatan (Departemen Kesehatan, 2002)
  1. Penyimpanan
Pada prinsipnya limbah medis harus segera mungkin dilakukan pengolahan setelah dihasilkan dan penyimpanan merupakan prioritas akhir bila limbah benar-benar tidak dapat langsung diolah. Limbah tidak boleh terlalu lama disimpan karena pada suhu kamar dapat mendorong pertumbuhan agen penyakit, selain itu juga karena pertimbangan estetika. Beberapa faktor penting dalam penyimpanan (Reinhardt, 1991).
a.       Melengkapi tempat penyimpanan dengan cover atau penutup
b.       Menjaga agar areal penyimpanan limbah medis tidak tercampur dengan limbah non-medis
c.       Membatasi akses sehingga hanya orang tertentu yang dapat memasuki area.
d.      Labeling dan pemilihan tempat penyimpanan yang tepat.

2.1.1.      Pengelolaan Limbah Medis
Menurut Departemen Kesehatan RI, pengelolaan limbah puskesmas harus disesuaikan dengan penggolongannya. Hal ini bertujuan untuk efektivitas pekerjaan dan efisiensi financial. Untuk limbah golongan A dan B perlu dibuang ke dalam kontainer khusus dan diinsinerasi. Sementara untuk limbah laboratorium atau golongan C seperti limbah radioaktif umumnya disimpan dalam area puskesmas itu sendiri utuk menunggu waktu paruhnya habis dan disingkirkan sebagai limbah non radioaktif insinerator.
Sistem pengolahan dan pembuangan limbah puskesmas antara lain:
  1. Pemanasan dengan uap (Autoclaving)
Autoclaving sering digunakan untuk perlakuan limbah infeksius dengan prinsip pemanasan dengan uap dibawah tekanan. Perlakuan dengan suhu tinggi pada periode singkat akan membunuh bakteri dan mikroorganisme yang membahayakan. Kekurangannya adalah tidak dapat digunakan untuk volume limbah yang besar.
  1. Desinfeksi (Desinfection)
Peranan desinfeksi untuk institusi yang besar terbatas penggunaannya. Limbah medis dalam jumlah kecil dapat didesinfeksi dengan bahan kimia seperti hipoklorit atau permanganat. Tetapi kemampuan desinfeksi untuk terserap limbah akan menambah bobot sehingga menimbulkan masalah dalam penanganan.
3.   Insinerator
Dalam pengolahan limbah puskesmas dilihat dari aspek ekonomi, teknis, lingkungan, sosial, dan adanya partisipasi dari pihak swasta maka yang paling direkomendasikan adalah insinerator (Departemen Kesehatan, 2002). Tetapi dalam pengoperasiannya memerlukan perhatian lebih terhadap residu yang dihasilkan baik ke udara maupun abu yang dibuang ke landfill.
Unit Pengolahan Limbah Puskesmas
Insinerator
Insinerator adalah sebuah proses yang memungkinkan materi combustible (mudah terbakar) seperti halnya limbah organik mengalami pembakaran, kemudian dihasilkan gas/partikulat, residu  noncombustible dan abu. Gas pertikulat tersebut dikelurakan melalui cerobong setelah melalui sarana pengolahan pencemar udara yang sesuai. Residu yang bercampur debu dikeluarkan dari insenerator dan disingkirkan pada lahan urug. Disamping pengurangan masa dan volume sasaran utama insinerator adalah mengurangi sifat bahaya dari limbah itu sendiri (Freeman, 1988). 
Insinerator mereduksi volume sampah sebesar 95-96 % volume sampah awal, tergantung dari komposisi material sampah yang dimasukkan. Ini berarti insinerasi tidak sepenuhnya mengganti penggunaan lahan sebagai area pembuangan akhir, tetapi insinerasi mengurangi volume sampah yang dibuang dalam jumlah yang signifikan. Model dari insinerator sangat beragam, tetapi tidak semua limbah dapat diproses dengan menggunakan insinerator.
Model dari insinerator sangat beragam, tetapi tidak semua limbah dapat diproses dengan menggunakan insinerator. Adapun tipe limbah yang dapat diinsinerasi adalah (Anonim, 1991, disitasi Pranata Muhammad Yuda , 2012):
1.      Tipe A: Trash, Adalah campuran dari bahan-bahan mudah terbakar seperti kertas, papan, kotak kayu yang dihasilkan dari kegiatan komersial  dan    industri.
2.      Tipe B: Rubbish, gabungan dari sampah-sampah kertas, daun-daunan, bongkahan kayu dari limbah domestik, komersial dan industri.
3.      Tipe C: Refuse, terdiri dari gabungan sampah tipe A dan tipe B biasanya berasal dari perumahan penduduk.
4.      Tipe D: Garbage, terdiri dari limbah tanaman maupun hewan dari restoran, kafetaria, hotel, pasar juga puskesmas.
5.      Tipe E: Human and animal remains, terdiri dari organ tubuh, jaringan-  jaringan dan berbagai limbah organik yang berasal dari puskesmas.
Teknologi insinerasi mempunyai beberapa tujuan yaitu:
1.      Mengurangi massa/volume
Insinerator pada awalnya digunakan untuk membakar sejenis sampah kota agar berkurang massa dan volumenya, sehingga dari proses ini dikeluarkan abu, debu dan gas hasil pembakaran), bila yang terbakar hanya karbon oganik, maka secara kimia sederhana akan dihasilkan reaksi oksidasi sebagi berikut:

        C-organik  + Oksigen  C-organik lebih sederhana  + C- sisa pembakaran + CO + CO2

Tambah sempurna proses pembakaran, maka akan tambah sedikit (mungkin tidak tersisa) komponen-komponen:
a.       C-organik (pencemar di abu/debu dan di cerobong)
b.      Gas CO (pencemar di cerobong)
Sehingga yang dihasilkan setelah insinerasi tersebut, adalah:
a.       Arang ( C ) pada abu dan debunya
b.      CO2 pada stack atau cerobongnya
2.      Mendestruksi komponen bahaya
Parameter utama yang menjadi andalan agar terjadi destruksi adalah adanya temperatur yang cukup. Biasanya sebuah incinerator dioperasikan di atas 800aC, bila ini gagal dicapai maka akan gagal pula sasaran ini.
3.      Pemanfaatan energi panas
Pada dasarnya insinerasi adalah identik dengan combustion. Combustion  adalah membakar bahan bakar yang dapat menghasilkan energi yang dapat dimanfaatkan seperti energi listrik. Dengan demikian dari sebuah insinerator dapat dihasilan energi.
Salah satu konversi yang paling sederhana yang mungkin dapat diharapkan adalah dalam bentuk energi panas, yaitu memanfaatkaan panas pembakaran dalam ruang insinerator untuk menghasilkan air panas atau uap air panas.
4.      Kritia desain.
5.      Tidak memerlukan tempat yang luas.
6.      Salah satu alternatif pemusnahan limbah yang bersifat infeksius.
Jenis-jenis Insinerator
Ada beberapa jenis insinerator untuk limbah berbahaya:
a)      Insinerator dengan injeksi cair ( liquid injection incineration)
Metode insinerator yang paling umum digunakan untuk limbah berbahaya yang paling umum adalah didasarkan atas injeksi cair, baik horizontal, vertikal maupun tangensial. Mayoritas proses dari insinerasi ini adalah melalui nozel pengatoman (atomizing  nozle) ke ruang pembakaran. Pemasok bahan bakar tambahan yang digunakan adalah gas dan cair atau auxilary fuel. Temperatur yang digunakan diasanya antara 1500 – 3000 ºF (815 – 1650 ºC). Efisiensi destruksi ditentukan oleh banyaknya penguapan dan uap yang bereaksi (Freeman, 1988).























Gambar 2.1 Liquid Injection Incinerator




b)      Insinerator Rotary Klin
Jenis insinerator rotary klin sering digunakan dalam menangani limbah berbahaya baik padat maupun cair, karena kemampuannya yang baik. Pada umumnya sistem rotary klin terdiri dari dua kamar, yaitu:
a.       Kamar 1, beroperasi pada suhu 1500 – 2000 ºF (815 – 1540 ºC)
b.      Kamar 2, agar bekerja dengan sempurna (after-burner) bekerja pada suhu 1800 – 3000 ºF (980 – 1650 ºC).
Untuk limbah cair dapat langsung diinjeksikan langsung ke kamar-2. Sedangkan limbah yang tervolatil setelah dari kamar-1, kemudian meninggalkan klin dan masuk ke kamar-2. Pada saat ini oksigen serta limbah cair berkalori tinggi atau bahan bakar ditambahkan. Limbah dihancurkan sesuai dengan DRE di kamar-2.
Kelebihan rotary klin adalah kemampuannya untuk menerima limbah yang bervariasi, dioperasikan pada temperatur tinggi dan pencampuran yang menerus. Selain itu insinerator ini dapat dioperasikan dalam kondisi kekurangan oksigen (pirolisis). Sedangkan kekurangannya adalah insinerator ini membutuhkan biaya yang tinggi serta tenaga terlatih.





















Gambar Rotary-klin Incinerator

c)      Insinerator dengan media terfluidasi ( fluidized bed )
Teknologi  fluidized bed ini diadaptasi dalam berbagai proses karena teknologi ini mempunyai kemampuan memberikan derajad turbelensi yang tinggi, area transfer panas yang besar untuk mencampur limbah, oksigen dan media terfluidisasi. Dengan pencampuran yang baik antara media inlet dengan udara berlebih rendah dan gradien temperatur yang minimal di seluruh media akan memberikan hasil insinerasi yang baik. Waktu tinggal yang digunakan antara 5 – 8  detik atau lebih, pada temperatur 1400 – 1600 ºF (980 – 1650 ºC).












 
















Gambar Fluidized Bed Incinerator


d)     Insinerator Kamar Jamak
Rancangan insinerator tradisional yang biasa digunakan adalah insinerator kamar- jamak (multiple chamber incinerator). Ada dua jenis insinerator kamar-jamak yaitu, in-line hearth dan retort hearth. Pada model in-line, gas pembakaran mengalir lurus melalui insinerator, dan membelok secara vertikal ke atas, sedang pada model retort aliran aliran gas disamping berbelok secara vertikal tetapi juga berbelok kesamping. Model in-line berfungsi dengan baik pada kapasitas di atas 340 Kg/jam, sedang model retort berfungsi baik pada kapasitas di bawah 340 Kg/jam, dan biasa digunakan untuk limbah puskesmas.
 










Gambar Multiple Chamber Incinerator

e)      Insinerator dengan kontrol udara
Jenis insinerator dengan kontrol udara (controlled air) adalah jenis insinerator yang sekarang banyak dikembangkan, misalnya untuk insinerator limbah puskesmas, yang dikenal di pasaran sebagai pembakaran secara starved air atau secara modular atau secara pyrolytic. Sisitem ini terdiri dari dua ruang. Ruangan pertama (bagian limbah padat) difungsikan pada kondisi substoiciometris, sedang pada ruang kedua dikondisikan pada kondisi udara berlebih.
Jumlah udara pembakaran pada ruang pertama dikontrol secara ketat, biasanya dipasok sebagai udara underfire. Proses terjadi pada ruangan ini adalah kadar air limbah akan diuapkan, lalu bagian volatil dari limbah akan tervolatisasi dan gas-gas volatil akan mengalir ke ruangan kedua dan karbon yang terikat (fixed carbon) kemudian akan mengalami pembakaran. Gas hasil pembakaran dari ruang pertama masuk ke ruang kedua kemuadian akan dibakar lagi dengan udara berlebih yang didukung dengan adanya turbulensi pada temperatur tinggi.

 












Gambar Controlled Air Insinerator

f)       Single-Chamber Incinerator
Proses pembakaran di single-chamber incinerator dilakukan dengan menempatkan limbah di dalam alat pemanggang kemudian membakarnya. Panggangan terbuat dari cast iron dan dinding dilengkapi dengan refraktor. Insinerator ini dilengkapi dengan afterburner dan draft control damper sehingga dapat mengontrol proses pembakaran. Temperatur normal yang diperlukan adalah 1400oF dan waktu tinggal 0,5 detik



 












Gambar Single-Chamber Incinerator





Parameter Operasional Insinerator
Destruksi limbah dalam sebuah insinerator tercapai dengan terpaparnya limbah pada temperatur tinggi, biasanya diatas 850 ºC. Bila dirancang dan dioperasionalkan secara tepat, maka cara ini akan memberikan hasil yang baik dalam menghancurkan limbah berbahaya dan sekaligus mengurangi volume dan masanya. Beberapa parameter operasional yang akan mempengaruhi terjaminnya destruksi panas antara lain (Reinhardt , 1991):
1.      Temperatur
Temperatur merupakan faktor yang signifikan dalam menjamin destruksi yang baik bagi limbah. Efisiensi destruksi dan penyisihan (DRE) dalam setiap insinerator akan tergantung pada temperaturnya.
2.      Waktu tinggal
Waktu tinggal adalah waktu yang diperlukan untuk mencapai efisiensi destruksi dan penyisihan (DRE) sehingga panasa tertentu untuk mendestruksi limbah organik menjadi CO2  dan H2O. Waktu tinggal ini dipengaruhi besarnya volume yang masuk untuk debit aliran tertentu.
3.      Turbulensi
Derajat turbulensi dapat digunakan secara efektif untuk mencapai DRE yang diinginkan dan mengurangi kegagalan operasional untuk memperoleh temperatur dan  waktu tinggal yang merata.
4.      Tekanan
Tekanan dalam insinerator harus diperhatikan secara serius. Bila tekanan terlalu rendah atau terlalu tinggi, kebocoran udara dapat terjadi.                                     
5.      Pasokan Udara
Operasi sebuah insinerator didasarkan atas reaksi komponen-komponen limbah dengan oksigen. Biasanya udara digunakan sebagai sumber oksigen. Insinerator pada dasarnya membutuhkan oksigen yang cukup untuk mencapai pembakaran yang sempurna.
6.      Bahan konstruksi
Insinerator harus dibuat atau dibangun dengan bahan terpilih untuk memungkinkan operasi menerus yang bebas masalah dengan kondisi limbah yang heterogen dan berumur panjang. Bahan yang digunakan biasanya mulai dari baja biasa sampai axotic alloy.
7.      Perlengkapan tambahan
Terdapat beragam perlengkapan tambahan, seperti:
a.       After burning dibutuhkan untuk menjamin DRE,
b.      Sarana penyingkir debu, untuk menjamin destruksi termal pada bagian padat atau lumpur.

Kriteria Pembakaran
Pada umumnya limbah kertas (material sesulosa) membutuhkan temperature 1400oF dengan waktu 0.5 detik untuk mencapai pembakaran sempurna. Penetapan temperature dan waktu tinggal ditentukan berdasarkan spesifikasi limbah. Dibeberapa Negara sendiri menetapkan untuk limbah medis temperature yang diperlukan adalah 1800oF dengan waktu tinggal selama 1-2 detik (Brunner, 1996 disitasi Pranata Muhammad Yuda , 2012).
Temperatur pembakaran yang tinggi diperlukan untuk karakter limbah biomedis karena kandungan organiknya yang tinggi pula. Hal ini diperlukan karena pada suhu tinggi materi yang non-combustible akan meleleh dan hancur. Pada saat suhu di atas 1800 oF, abu akan mulai terbentuk dan kemudian akan berpindah menuju daerah dengan suplai udara yang tinggi atau lebih dingin. Disana abu akan menggumpal membentuk bara. Abu yang mengeras ini akan menyebabkan penyumbatan pada lubang udara, menghalangi burner yang bila terus dibiarkan akan memyebabkan karat pada komponen insinerator untuk mencegah hal tersebut, perlu dijaga agar kondisi temperature tidak melampaui 1800oF (Brunner, 1996 disitasi Pranata Muhammad Yuda , 2012).
Pada proses insinerator berlangsung melalui 3 tahap yaitu:
  1. Membuat air dalam sampah menjadi uap air sehingga limbah menjadi kering yang akan siap terbakar
  2. Terjadi proses pirolisis, yaitu pembakaran tidak sempurna, dimana temperature belum terlalu tinggi
  3. Fase berikutnya adalah pembakaran sempurna
Agar terjadi proses yang optimal maka ada beberapa aspek yang harus diperhatikan dalam menjalankan suatu insinerator, antara lain:
  1. Aspek keterbakaran: menyangkut nilai kalor, kadar air, dan kadar abu dari buangan padat, khususnya sampah
  2. Aspek keamanan: menyangkut titik nyala, tekanan uap, deteksi logam berat dan operasional incinerator
  3. Aspek pencegahan pencemaran udara: menyangkut penanganan debu terbang gas toksik dan uap metalik.

Baku Mutu Insinerator
            Baku mutu adalah ukuran batas atau kadar makhluk hidup, zat, energi, atau komponen yang ada atau harus ada dan/atau unsur pencemar yang ditenggang keberadaannya dalam suatu sumber daya tertentu sebagai unsur lingkungan hidup.
            Pengelolaan limbah B3 dengan menggunakan incinerator harus memenuhi beberapa persyaratan seperti yang tercantum dalam Keputusan Bapedal No. 3 tahun 1995. Peraturan tersebut mengatur tentang kualitas incinerator dan emisi yang dikeluarkannya. Incinerator yang diperbolehkan untuk digunakan sebagai penghancur limbah B3 harus memiliki efisiensi pembakaran dan  efisiensi penghancuran/penghilangan (Destruction Reduction Efisience) yang tinggi. juga efisiensi pembakaran yang tinggi, yaitu 99,99 %.


Baku Mutu DRE untuk Insinerator (KepKaBapedal 03/1995)

No
Parameter
Baku Mutu DRE

1.
Principal Organic Hazardous Constituent (POHCs)
99,99%
2.
Polychlorinated biphenil (PCBs)
99,9999%
3.
Polychlorinated dibenzofuran (PCDFs)
99,9999%
4.
Polychlorinated dibenzo-p-dioksin
99,9999%



Baku Mutu Emisi Insinerator (KepKaBapedal 03/1995)

No
Parameter
Kadar Maksimum (mg/Nm3)
1
Partikel
50
2
SO2
250
3
NO2
300
4
HF
10
5
CO
100
6
HCl
70
7
Total HC (sebagai CH4)
35
8
As
1
9
Cd
0,2
10
Cr
1
11
Pb
5
12
Hg
0,2
13
Talium (Ti)
0,2
14
Opasitas
10 %
































Teknologi Sederhana Pengolahan Air Limbah Puskesmas dan Perhitungan Disainnya


1.    Tangki septik
            Tangki septik merupakan sarana pembuangan air limbah yang sangat umum digunakan terutama di perkotaan Indonesia. Prinsip utamanya adalah mengendapkan bahan padatan yang dikandung air limbah dan diuraikan secara anaerobic (tanpa oksigen) di dalam tangki, sedangkan bagian cairnya dialirkan ke bidang peresapan.
            Menurut (Salvato,1992), tangki septik adalah suatu tangki yang dirancang untuk mengalirkan air limbah dan tinja secara perlahan sehingga padatan-padatan terpisah dan turun mengendap ke dasar tangki dimana endapan lumpur ini akan diuraikan oleh bakteri anaerobik.
Bentuk dan ukuran tangki septic telah ditetapkan oleh Standar Nasional Indonesia 03-2398-2002. Dalam tata cara perencanaan tangki septik yang dikeluarkan oleh Departemen Pekerjaan Umum pada tahun 1989.

Kriteria perencanaan tangki septik
1.    Perbandingan panjang dan lebar tangki (2:1) s/d (3:1)
2.    Lebar minimum 0,75 m
3.    Panjang minimum 1,50 m
4.    Tinggi ruang bebas (0,2 – 0,4) m
5.    Tinggi air dalam tangki adalah minimum 1m, dan kedalman maksimum 2,1 m
6.    Waktu tinggal (1-3) hari
7.    Lumpur yang diendapkan (30-40) lt/org/tahun atau (0,03-0,04) m3/org/tahun
8.    Waktu pengurasan lumpur, (2-3) tahun
Apabila tinggi muka air tanah < 0,5 m, maka jamban dapat dibangun dengan system tangki septik yang ditinggikan 0,5 m dari muka tanah asal.
Perencanaan Volume
Dalam merencanakan ruang dan dimensi tangki septic, maka perhitungannya adalah berdasarkan perkiraan volume yang diperlukan
·      Volume efektif tangki septic
Vef = Va + Vl
Keterangan :
Vef                               = volume tangki septic, m3
Va                               = volume air dalam tangki septic, m3
Vl                                = volume lumpur yang diendapkan, m3
·      Volume air dalam tangki septic
Va = Q x Orang x td
Keterangan:
Q = kuantitas/debit air limbah, lt/org/hari
O = jumlah orang yang dilayani, org
Td                                = waktu tinggal, hari
·      Volume lumpur
Akibat proses pengendapan yang  terjadi, maka lumpur akan terakumulasi setiap hari, dan endapan lumpur tersebut harus dikuras secara berkala.
VL = RL x N x Orang
Keterangan:
VL = volume lumpur
RL                                = rate/lajuakumulasi lumpur
     = 0,03 – 0,04 m3/org/tahun
N = frekuensi pengurasan 2-3 tahun
O = jumlah orang yang dilayani, org
·      Total volume tangki septik
Volume tangki septic = vol. air limbah + vol. lumpur + ruang bebas air
·      Dimensi tangki septik
Apabila berbagai volume di atas telah dapat diperkirakan, maka dimensi ruang dari tangki septik dapat dihitung.

Contoh Perhitungan :
Soal 1
Jumlah pemakai adalah 80 orang. Hanya air limbah toilet yang disalurkan ke dalam tangki septik dan dengan rata - rata kebutuhan air untuk penggelontor = 30 l/orang/hari. Periode pengurasan adalah 2 tahun sekali. Hitung volume dan dimensi tangki septik.


Jawaban :
1.          Debit air limbah rata - rata :

                                            = 2,4 m3/hari
2.          Waktu detensi :
td = 2,5 – 0,3 log ( O.Q )
     = 2,5 – 0,3 log ( 80 x 30 )
     = 1.5 hari = 2 hari ( Pembulatan )
3.          Volume air limbah
Va       = Q x td
     = 2,4 (m3/hari) x 1,5 hari
     = 3,6 m3
4.          Volume lumpur
Vl = 0,03 (m3/org/thn) x 2 thn x 80 org
     = 4,8 m3
5.          Volume efektif tangki septik
Vef          = 3,6 m3 + 4,8 m3
      = 8,4 m3
6.          Dimensi
P   = panjang
L  = lebar
Tair      = tinggi air
7.          Standar teknis perencanaan :
Panjang : Lebar tangki septic
P : L = ( 2 : 1 ) atau ( 3:1 )
Tinggi air atau Tair = minimal 1 meter dan maksimal 2,1 meter
Bila digunakan : P = 2 L dan Tair = 1,2 meter
Maka :
    
     2L2    = 7 m2
     L2       = 3,5 m2
Sehingga diperoleh :
Lebar tangki septic      L = 1,9 m
Panjang tangki septic  P = 2 x 1,9 = 3,8 m
Tinggi tangki septic     T = Tair + 0,3 m ( tinggi ruang bebas air )
                            = 1,5 m

Untuk nilai time detention itu di sesuaikan dengan asal muasal air yang masuk kedalam Tangki Septick , adapun rumus yang digunakan adalah sebagai berikut ini :
Untuk tangki septik hanya menampung limbah WC (terpisah)

Th = 2,5 – 0,3 log (P.Q) > 0,5

Untuk tangki septik yang menampung limbah WC + dapur + kamar mandi (tercampur)

Th = 1,5 – 0,3 log (P.Q) > 0,2

2.    Imhoff Tank
Prinsip kerja dan proses yang terjadi pada Imhoff tank mirip dengan yang terjadi pada Septic tank, ialah pengendapan dan dilaniutkan dengan stabilisasi lewat proses anaerobik.
Misalnya effluent dari septic tank masih bau karena kemungkinan terjadinya kontak antara limbah yang baru masuk dengan sludge / lumpur.
Pada Imhoff tank hal tersebut dihindari dengan memisahkan limbah yang masuk dan endapan lumpur yang terjadi. Pemisahan tersebut dilakukan dengan membuat konstruksi tirus (funnel type). 
Gambar. Imhoff Tank

Terdapat beberapa patokan yang perlu diperhatikan dalam desain Imhoff tank, diantaranya adalah:
1.Chamber 2 atau kompartemen2 yang terletak dibagian atas (bagian yang tirus) harus di desain untuk minimum 2 jam HRT pada Peak Flow.
2.Sedangkan hydraulic load nya harus kurang dari 1.5 m3/jam per m2 luas area permukaan dari chamber 2.

Contoh Perhitungan :
Overflow Rate = 2,08 m3/jam
Kualitas air limbah tersebut mempunyai BOD = 340 mg/liter dan COD = 630 mg/Iiter
Hydraulic retention time (HRT) pada chamber 1 atau flow tank minimum adalah 1.5 jam
Pimpinan proyek menetapkan interval pengurasan (desludging interval) adalah sekali setiap tahun atau sekali setiap 12 bulan.
Uji coba empiris di negera berkembang dan ratio SS/COD terendap tersebut lazimnya berkisar antara 0.35 – 0.45
Perencanaan Lebar Chamber 1 = 1,3 m

Untuk desludging interval 12 bulan diperoleh faktor 83%.

Maka volume sludge (dalam liter) dibanding BOD removal setiap gram nya adalah = 0.005 liter x 83% =0.0042 liter

Jumlah sludge selama periode pengurasan (desludging interval) dengan demikian menjadi =12 bulan x 30 hari  x 25 m3/hari  x 0.0042 liter x   (330 – 235.5)/1000 = 3.6 m3
Maka langkah berikutnya adalah memperkirakan tinggi dari timbunan sludge tersebut.
Tinggi dari timbunan sludge
Volume sludge/luas = 3.6 m3/(2.24 m x 2.83m) = 0.57 meter

Dengan kata lain selama 12 bulan (interval desluiging) timbunan lumpur yang akan terjadi tebalnya adalah 0.57 meter.

Ketinggian Imhoff tank (sampai posisi pipa outlet = 0.57 meter (tinggi sludge) + 1.1 meter + 0.3 meter + 0.3 meter (freeboard)
  = 2.27 meter

3.    Anaerobic Baffle Reactor
Merupakan pengembangan dari sistem UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) yang mana pengadukan di dalam reaktor terjadi dengan bantuan rangkaian dinding (baffle). (Sasse,1998)
Kelebihan : sederhana, dapat mengolah limbah dengan berbagai karakteristik, dan stabil terhadap shock loading.

Anaerobic Baffled Reactor (ABR) merupakan sistem pengolahan tersuspensi anaerob, dalam biorektor berpenyekat. Pertumbuhan tersuspensi (suspended growth) lebih menguntungkan dibanding pertumbuhan melekat (attached growth) karena tidak membutuhkan media pendukung serta tidak mudah tersumbat.
Anaerobic Baffled Reactor (ABR) dikembangkan oleh McCarty dan rekan-rekannya di Universitas Stanford (McCarty, 1981 dalam Wang, 2004). ABR merupakan UASB (Upflow Anaerobic Sludge Blanket) yang pasang secara seri, namun tidak membutuhkan butiran (granule) dalam operasinya (Barber and Stucky 1999 dalam Wang, 2004), sehingga memerlukan periode start-up lebih pendek (Movahedyan, 2007). Serangkaian sekat vertikal dipasang dalam ABR membuat limbah cair mengalir secara under and over dari inlet menuju outlet, sehingga terjadi kontak antara limbah cair dengan biomassa aktif (Nachaiyasit and Stucky, 1997 dalam Movahedyan, 2007). Profil kosentrasi senyawa organik bervariasi sepanjang ABR sehingga menghasilkan pertumbuhan populasi mikroorganisme berbeda pada masing-masing kompartemen (Foxon et.al.) tergantung pada kondisi lingkungan spesifik yang dihasilkan oleh senyawa hasil penguraian (Nachaiyasit and Stucky, 1997 dalam Bell, 2002). Bakteri dalam bioreaktor mengapung dan mengendap sesuai karakteristik aliran dan gas yang dihasilkan, tetapi bergerak secara horisontal ke ujung reaktor secara perlahan sehingga meningkatkan cell retentation time. Limbah cair berkontak dengan biomassa aktif selama mengalir dalam reaktor, sehingga efluen terbebas dari padatan biologis (biological solids). Konfigurasi tersebut mampu menunjukkan tingkat penyisihan COD yang tinggi (Grobicki and Stucky, 1991 dalam Wang, 2004).
Kelebihan-kelebihan utama ABR adalah :
1.      ABR mampu memisahkan proses asidogenesis dan metanogenesis secara longitudinal yang memungkinkan reaktor memiliki sistem dua fase (two stage), tanpa adanya masalah pengendalian dan biaya tinggi (Bell, 2002; Barber and Stucky 1999 dalam Movahedyan, 2007).
2.      Desainnya sederhana, tidak memerlukan pengaduk mekanis, biaya konstruksi relatif murah, biomassa tidak memerlukan karakteristik pengendapan tertentu, lumpur yang dihasilkan rendah, SRT tinggi dicapai tanpa media pendukung serta tidak memerlukan sistem pemisahan gas (Bell, 2002). Peningkatan volume limbah cair tidak masalah, bahkan memungkinkan operasional intermitten, selain itu ABR stabil terhadap adanya beban kejut hidrolik dan organik (hyhraulic and organik shock loading) selain itu konfigurasi ABR melindungi biomassa dari senyawa toksik dalam influen (Barber and Stuckey, 1999 dalam Bell, 2002).
3.      Selain itu pola hidrodinamik ABR dapat mereduksi terbuangnya bakteri (bacterial washout) dan mampu menjaga biomassa tanpa penggunaan fixed media (Grover et.al, 1999 dalam Movahedyan, 2007). Pemisahan dua fase menyebabkan peningkatan perlindungan terhadap senyawa toksik dan memiliki ketahanan terhadap perubahan parameter lingkungan seperti pH, temperatur dan beban organik (Barber and Stucky, 1999 dalam Movahedyan, 2007).
Sedangkan kelemahan dari desain reaktor bersekat adalah bioreaktor harus dibangun cukup rendah untuk mempertahankan aliran ke atas (upflow) cairan maupun gas (Barber and Stucky, 1999 dalam Bell, 2002).
Untuk meningkatkan kinerja ABR, perlu dipertimbangkan beberapa aspek yang berkaitan dengan struktur mikroorganisme yang akan terbentuk dalam reaktor, yaitu : kecepatan aliran permukaan, waktu kontak, laju pembebanan organik, karakteristik limbah cair, jenis bibit lumpur yang digunakan, suhu, pH dan alkalinitas, serta keberadaan polimer dan kation seperti Ca, Mg dan Fe.






Kriteria perencanaan: 
Organic Loading (OL)   = 1 – 8 kg COD/m3
Hydraulic retention time  = 2 – 8 jam
Hydraulic loading rate  = 16,8 – 38,4 m3/m2.hari
Kecepatan aliran permukaan (Vup) = 0,7 – 1,7 m/jam
(Mc Carty & Bachman, 1981)
Contoh Perhitungan :
Direncanakan:
Q rata-rata   = 30 m3/hari
θ    = 2 jam
Lebar bak   = 1 m
Konsentrasi substrat influen (So) = 176,53 mg/l
Volume (V) = 30 m3/hari x 2 jam x 1hari/24jam = 2,5 m3
HLR          = Q : Asurface
Asurface = 30 m3/hari : 16,8 m3/m2.hari
Asurface = 1,8 m2
Luas (A) = panjang x lebar
1,8 m2 = panjang x 1 m
Panjang Bak = 1,8 m
Kedalaman (h) = V : Asurface = 2,5 m3 : 1,8 m2 = 1,4 m
Cek Volume = 1,8 m x 1 m x 1,4 m = 2,52 m3
Direncanakan ABR dibagi atas 4 kompartemen dan panjang masing – masing kompartemen sebesar 0,45 m

Gambar. Anaerobic Baffle Reactor

4.    Desinfeksi
Desinfeksi adalah perusakan/pemberantasan mikroorganisme patogen dan non patogen yang berupa virus, bakteri dan protozoa. Zat kimia yang digunakan pada proses desinfeksi disebut desinfektan. Menurut Green dan stummpf perusakan mikroorganisme oleh desinfektan misalnya klorin karena desinfektan tersebut mampu bereaksi dengan enzim yang essensial untuk proses metabolisme sel hidup. Sel – sel ini akan mati ketika enzim – enzim tersebut diinaktivasi. Perusakan enzim juga lewat radikal bebas. Desinfeksi secara umum dikelompokkan dengan bebarapa cara konvensional yaitu menggunakan zat kimia sebagai desinfektan, ozon, iradiasi ultraviolet, iradiasi gamma dan cahaya berkas elektron.

Desinfeksi secara konvensial

§  Senyawa yang bersifat oksidator. Yang termasuk senyawa oksidator adalah halogen, kalium permanganat, hidrogen peroksida dan klordioksida.
§  Ion logam.
§  Alkali dan asam. Bakteri patogen tidak dapat hidup di dalam air yang sanagt asam maupun absa yaitu pada pH > 11 atau pH < 3
§  Senyawa kimia aktif permukaan. Surfaktan dapat digunakan sebagai disinfektan.
Diantara hal–hal tersebut senyawa klorinlah yang paling sering digunakan. Senyawa klorin tersebut antaar lain asam hipoklorit (HOCL) , ion hipoklorit (OCL) dan molekul klorin. Diantara senyawa klorin tersebut asam hipokloritlah yang paling efektif karena mampu menembus dinding mikroorganisme. Didalam air asam hipoklorit akan berdisosiasi membentuk ion hipoklorit.
                                    HOCL                               OCl-  + H+
Reaksi ini merupakan reaksi kesetimbangan. Jika didalam air sangat asam (pH rendah ) maka kesetimbangan akan bergeser ke kiri, sehingga konsentrasi HOCL didalam larutan tinggi dan sebaliknya. Kenaikan pH menyebabkan persentasi asam hipoklorit dalam air menurun dan persentasi ion hipoklorit di dalam air meningkat. Penurunan pH dari 7,6 ke pH 6,5 mampu menaikkan daya inaktivasi sampai 150 %.
Air yang didisinfeksi dengan klor sebaiknya bebas dari senyawa ammonia. Hal ini karena adanya ammonia menyebabkan terjadinya senyawa nitrogen triklorida (NCl3) atau dikloramin (NHCl2) yang sangat berbau, jika dosisnya tidak tepat dan belum mencapai titik balik (break point) klorinasi. Reaksi yang terjadi :
NH4+  +  HOCl                                    NH2Cl + H2O + H+
NH2Cl + HOCl                                  NHCl2 + H2O
NHCl2 + HOCl                                   NCl3 + H2O
2NHCl2 + HOCl                                 N2 + 3HCL + H2O
Klor sisa setelah tercapai break point itulah yang sering digunakan dalam air untuk proses disinfeksi. Denagn demikian maka dosis klor menajdi terlalu tinggi. Penggunaan klor yang terlalu tinggi dapat menyebabkan terbentuknya senyawa tihalometan dan organoklorin dan senyawa – senyawa ini bersifat karsinogenik.

Desinfeksi Air Dengan Ozon

Ozon adalah pengoksidasi kuat sehingga mampu melakukan pengrusakan bakteri antara 600 sampai 3000 kali lebih kuat dari pada klorin. Disamping itu penggunaan ozon untuk desinfeksi tidak dipengaruhi oleh pH air, sedangkan klorin sangat tergantung pada pH air. Prinsip mekanisme produksi ozon adalah eksitasi dan percepatan elektron yang tidak beraturan dalam medan listrik tinggi. O2 yang melewati medan listrik yang tinggi berupa arus bolak-balik akan menghasilkan lompatan elektron yang bergerak dari elektroda yang satu ke elektroda yang lain. Jika elektron mencapai kecepatan yang cukup maka elektron ini dapat menyebabkan molekul oksigen spliting ke bentuk atom oksigen radikal bebas. Atom-atom ini kemudian bergabung dengan molekul O2 membentuk O3 (ozon)
            O2 Û   20*
            208 + 1/20 Û O3
            O3 + H2O  Û  HO*2 + *OH + H+

Desinfeksi Air Dengan Ultraviolet

Dapat berlangsung melalui 2 cara yaitu cara langsung dan interaksi tidak langsung. Pada interaksi langsung sinar uv berperan sebagai desinfektan. Daerah yang berperan penting dalam efek germicial adalah pada uv-ac, yaitu pada 280-220 nm. Sinar uv dalam area ini merupakan area yang mampu mematikan semua mikroorganisme .
Proses desinfeksi dengan memanfaatkan iradiasi uv melalui interaksi tidak langsung yaitu dengan digunakannya zat pengoksidasi H2O2 atau semikonduktor (TiO2). Interaksinya sebagai berikut
              
                        uv
H2O2                                        OH- + OH + HO2 + H+
                      254 nm
            sinar uv mengeksitasi zat pengoksidasi menghasilkan radikal hidroksil (OH) dan super hidroksil (HO2). Interaksi radiasi denagn semikonduktor akan menyebabkan elektron dari pita valensi lompat ke pita konduksi. Akibat perpindahan ini akan berbentuk lubang positif (h+) dan elektron pada pita konduksi (e-).
                                   hv
            TiO2                                         TiO2 (e-) + TiO2 (h+)
Desinfeksi Air Dengan Menggunakan Iradiasi Gamma dan berkas Elektron
Yang termasuk radiasi pengion disini adalah sinar gamma dan partikel beta atau elektron bertenaga tinggi. Sinar gamma dihasilkan oleh isotop Cobalt-60, dimana isotop ini meluruh menghasilkan isotop stabil Nikel-60
            60Co                             60Ni + g                       
Temperatur, senyawa organik dan pH berpengaruh terhadap proses klorinasi. Peningkatan suhu akan menghasilkan pembunuhan bakteri yang lebih cepat. Jika senyawa organik terdapat dalam air disinfektan akan bereaksi dengan senyawa organik ini dan kemuadian akan mengurangi konsentrasi disinfektan yang efektif. Pada pH tinggi direkomendasikan memakai ozon dan uv .
1.Perencanaan
-          Desinfeksi dengan kaporit  Ca(OCl)2
-          Kadar klor dalam kaporit = 60 %
-          r kaporit = 0,86 kg/l
-          konsentrasi larutan   = 5%
-          DPC  = 1,3 mg/l
-          sisa chlor yang diharapkan = 0,4 mg/l
-          pembuatan larutan kaporit  = 3 kali sehari ( 8 jam sekali )

2. Perhitungan
-          dosis chlor = DPC + sisa chlor = 1,3 mg/l +0,4 mg/lt = 1,7 mg/lt
-          kebutuhan kaporit
w kaporit = Q x dosis x kemurnian
= 100 lt/dt x 1,7 mg/lt x 100/60
= 283,33 mg/dt = 24,5 kg/hr
-          Debit kaporit (Q kap) =
-          Debit pelarut ( Q air ) =
-          Debit larutan kaporit = Q kap + Qair
= 28,5 + 541
= 569,5 lt/hr
Q larutan =

3.Kehilangan tekanan
-          direncanakan panjang pipa = 1 m dengan diameter (D)=25 mm =0,025 m
-          Q pipa = 24 lt/jam =6,67.10-6 m3/dt

v pipa =                  digunakan pipa yang lebih
kecil (D)=3/4” dan
menempatkan enriser
v pipa =
-          kehilangan tekanan dalam pipa
hf =
= 0,00009 m
-          kehilangan tekan pada pipa inlet,valve dan outlet
hf inlet = Kinlet x
hf outlet = Koutlet x


hf total = [(Kinlet +2 Kv +Koutlet) )+hfp]
= (1+5+1)
= 0,0003 m

4.Dimensi bak pelarut
-          volume bak = volume larutan
-          volume efektif untuk pembubuhan kaporit 283,33 mg/dt = 190lt =0,190 m3
-          dimensi bak pelarut = panjang (p) : lebar (l) : tinggi (h)
= 1 : 1 : 1
-          volume bak = p x l x h = p3
p3 =0,190 m3
p = 0,57 m
jadi p = l = h=0,57 m
h total = h bak + hf + h freeboard
= 0,57 + 0,00009 + 0,2
= 0,77 m

5.Perhitungan pH
-          Dosis Chlor yang digunakan =1,7 mg/lt dengan kadar chlor dalam kaporit 60%
-          Kaporit yang ditambahkan =100/60 x 1,7 mg/lt = 3 mg/lt = 2,0.10-5 mol/lt
-          Reaksi yang terjadi =
Ca(OCl)2 + H2O                 Ca(OH)2 + HOCl
HOCl                2H+ +OCl-
2H+ + 2HCO3                        2H2CO3                        2CO2 + H2O



Dengan penambahan kaporit sebanyak 2,1.10-5 mol/lt akan terjadi penambahan:
[Ca2+] = 2,0.10-5 mol/lt = 0,80 mg/lt
[CO2] = 4,0.10-5 mol/lt = 1,76 mg/lt
[HCO3] = 4,0.10-5 mol/lt = 2,44 mg/lt
-          Konsentrasi pada awal air limbah
[Ca2+] = 545 mg/lt
[CO2] = 55 mg/lt
[HCO3-] =250 mg/lt
-          Konsentrasi di akhir proses desinfeksi
[Ca2+]  total = 0 + 0,80 = 0,80 mg/lt
[CO2] total = 0+1,76 =1,76 mg/lt
[HCO3-] total = 0+2,44=2,44 mg/lt
[Fe2+] = 5 mg/lt
[Mn2+] = 1,5 mg/lt
Analisis parameter operasional untuk operasi dan pemeliharaan IPAL

                Agar instalasi pengolahan air limbah (IPAL) dapat berfungsi dengan baik maka harus dipelihara dan dipantau secara rutin. Pemeliharaan meliputi proses pengolahan dan juga peralatannya. Beberapa parameter yang umum dianalisis meliputi:

1. Analisis Biological Oxygen Demand (BOD)
            Biological Oxygen Demand (BOD) atau Kebutuhan Oksigen Biologis (KOB) adalah suatu analisa empiris yang mencoba mendekati secara global proses-proses mikrobiologis yang benar-benar terjadi di dalam air Sedangkan angka BOD adalah jumlah oksigen yang dibutuhkan oleh bakteri untuk menguraikan (mengoksidasikan) sebagian besar zat organik yang terlarut dan sebagian zat-zat organik yang tersuspensi dalam air.
            Pada titrasi iodometri, analit yang dipakai adalah oksidator yang dapat bereaksi dengan I- (iodide) untuk menghasilkan iod, iod yang terbentuk secara kuantitatif dapat dititrasi dengan larutan tiosulfat. Metode titrasi iodometri langsung (kadang-kadang dinamakan iodimetri) mengacu kepada titrasi dengan suatu larutan iod standar. Metode titrasi iodometri tak langsung (kadang-kadang dinamakan iodometr i), adalah berkenaan dengan titrasi dari iod yang dibebaskan dalam reaksi kimia (Dinda, 2010)
1)                  Alat dan Bahan
a.       Alat
·         Botol winkler
·         Botol aqua sedang
·         Buret dan statif
·         Botol semprot
·         Erlenmeyer
·         Kaki tiga
·         Batang pengaduk
·         Gelas kimia
·         Spritus
·         Sunglite
·         Pipet sedot
·         Pipet skala 1 ml dan 10 ml
b.      Bahan
·         Air limbah (sampel)
·         Aquades
·         Larutan alkali iodida azida
·         Larutan H2SO4 pekat
·         Larutan H2SO4 4N
·         Larutan KMnO4 0,05N
·         Larutan H2C2O4 0,05 N
·         Larutan MnSO4 40%
·         Larutan Na2S2O3 0,025 N
·         Tissu
2)      Prosedur Kerja
a.       Pengambilan sampel air limbah di Fakultas Sains dan Teknologi menggunakan botol winkler tanpa gelembung
b.      Menambahkan 2 mL larutan MnSO4 40%, dan mendiamkan larutan  selama beberapa menit untuk menghomogenkan
c.       Menambahkan 2 mL alkali iodida azida, kemudian mendiamkan hingga muncul endapan berwarna coklat dan memindahkan larutan kegelas kimia kemudian dikocok 
d.      menambahkan 2 mL H2SO4 pekat hingga endapan larut, lalu mengambil  100 mL dan memindahkan larutan kedalam erlenmeyer
e.       Larutan yang berada didalam erlenmeyer siap untuk dititrasi dengan larutan Na2 S2 O3 0,025N
f.       Menambahkan indikator amilum dan melanjutkan kembali dengan titrasi hingga warna biru hilang, kemudian catat volume titrasi.

2. Analisis Chemical Oxygen Demand (COD)
       Pemeriksaan COD dilakukan seminggu sekali. Pengambilan sampel dilakukan pada pagi hari pada bak Buffer Basin (BB in/influent) dan bak effluent.
1)      Alat dan Bahan
a)      Spectrofotometer
b)      Beaker galss 500ml
c)      Botol dengan tali dan pemberat
d)     Sampel air limbah
e)      COD reaktor
f)       Reagent HR (High Range)
g)      Reagent LR (Low Range)
2)      Prosedur Kerja
a)      Reagent HR dan LR disiapkan sebagai blangko untuk pembacaan pada Spectrofotometer.
b)      Sampel diambil menggunakan botol yang diberi tali dan pemberat pada BB in dan effluent
c)      Sampel dituang ke dalam beaker glass
d)     Sampel dari BB in (influent) dan effluent ke dalam beaker glass
e)      2 ml air sampel dari BB in (influent) dimasukkan ke dalam reagent HR dan    2 ml  air sampel dari effluent ke dalam reagent LR, kemudian kocok hingga homogen.
f)       COD reaktor dinyalakan
g)      Reagent standar dan sampel yang akan diperiksa COD nya dipanaskan selama 2 jam dengan suhu 105ºC
h)      Setelah 2 jam sampel didiamkan hingga dingin
i)        Spectrofotometer dihidupkan dan diatur untuk pengukuran COD
j)        Kemudian sampel HR dan LR dimasukkan ke dalam Spectrofotometer dan hasil yang muncul pada display dicatat sebagai hasil COD.

3.  Pemeriksaan TSS
       Pemeriksaan TSS dilakukan setiap hari. Pengambilan sampel dilakukan pagi hari pada bak BB-in, BB-out, FBBR, bak Settling dan bak effluent.
1)      Alat dan Bahan
a)      Spectrofotometer
b)      Blangko kalibrasi
c)      Beaker glass 500ml
d)     Botol dengan tali dan pemberat
e)      Sampel air limbah

2)      Prosedur Kerja
a)      Sampel dari BB-in, BB-out, FBBR, Settling dan effluent diambil menggunakan botol yang diberi pemberat.
b)      Sampel dituang kedalam beaker glass
c)      Spectrofotometer disiapkan dan dikalibrasi menggunakan blangko sebelum digunakan untuk mengukut TSS pada sampel.
d)     Sampel diaduk dan dimasukkan kedalam botol sampel sampai penuh
e)      Botol sampel dimasukkan dalam Spectrofotometer yang sudah dikalibrasi
f)       Tekan ‘read’pada display Spectrofotometer, kemudian dicatat hasil yang muncul.
g)      Lakukan bergantian pada masing-masing sampel dengan menbilas botol terlebih dahulu menggunakan akuades sebelum memasukkan sampel.

4.  Pemeriksaan pH
Pemeriksaan pH dilakukan setiap hari. Pengambilan sampel dilakukan pagi hari
1)      Alat dan Bahan
a)      pH meter
b)      Beaker glass 500ml
c)      Botol dengan tali dan pemberat
d)     Sampel air limbah
2)      Prosedur Kerja
a)      Sampel dari BB-in, BB-out, FBBR, Settling dan effluent diambil menggunakan botol yang diberi pemberat.
b)      Sampel dituang ke dalam beaker glass untuk mengukur pH
c)      pH meter disiapkan
d)     Tombol on pada pH meter dihidupkan lalu dimasukkan kedalam air sampel.
e)      Angka yang keluar pada display pH meter dicatat sebagai nilai pH.
f)       Lakukan bergantian untuk masing-masing sampel dengan sebelumnya alat selalu harus dibersihkan dengan akuades sebelum dan sesudah digunakan.

5.  Pemeriksaan Sisa Klor
Klor aktif (sisa Klor) akan membebaskan iodine I2 dari larutan kaliumiodida KI jika pH < 8 (terbaik adalah pH < 3 atau 4), sesuai reaksi i dan ii. Sebagai indicator digunakan kanji yang merubah warna sesuai larutan yang mengandung iodine menjadi biru. Untuk menentukan jumlah klor aktif, iodine yang telah dibebaskan oleh klor aktif tersebut dititrasikan dengan larutan standar natriumtiosulfat, sesuai rekasi iii. Titik akhir titrasi dinyatakan dengan hilangnya warna biru dari  larutan. Asam asetik HAs (CH3COOH) harus digunakan untuk menurunkan pH larutan sampai 3 atau 4.
1)      Alat dan Bahan
a)      Alat
·         1 buret 25 ml : 1 mikrobiuret (untuk standarisasi dan titrasi klor)
·         2 labu takar 1 l ; 1 labu takar 0,5 l (untuk larutan standar)
·         2 beker 0,2 l, 0,5 l, dan 1 l; 1 gelas ukur 1 l (untuk pembuatan indicator dan keperluan titrasi)
·         1 pipet 50 ml, 20 ml, 5 ml, 1 ml; 2 pipet 10 ml
·         mortir; botol kaca coklat; botol peniris (untuk indikator)
·         kertas pH
·         batang pengaduk kaca; karet penghisap; pengaduk magnetis serta magnetnya
b)      Reagen
·         asam asetik (glacial) yang pekat.
·         kalium iodida KI Kristal (hablur)
·         standar natrium tiosulfat Na2S2O3 0,1 N
gunakan labu takar 1 liter untuk melarutkan 25 g Na2S2O3. 5 H2O; isi dengan air suling sampai volume menjadi 1 liter, lalu tambahkan beberapa ml kloroform CHCl3 supaya larutan stabil. Kemudian, awetkan larutan standar tersebut selama minimum 2 minggu sebelum distandarkan dan dipakai untuk pertama kali.
a.    standarisasi larutan Na2S2O3 dengan metode kaliumdikromat (masa pakai larutan Na2S2O3 adalah 24 jam sebelum perlu standarisasi lagi)
·         Larutkan 4,904 g K2Cr2O7 (tanpa H2O, yang sudah dikeringkan pada suhu 1050C selama 2 jam) dalam 1 liter air suling. Larutan ini adalah larutan 0,10 N K2Cr2O7. simpan larutan ini dalam botol kaca dengan tutup kaca.
·         Siapkan kurang lebih 80 ml air suling dalam beker 0,2 liter kemudian tambahkan 1 ml H2SO4 pekat, 0,10 N K2Cr2O7 di atas dan lebih kurang 1 g KI, aduklah terus sambil menunggu selama 6 menit.
·         Titrasikan larutan tersebut dengan 0,1 N Na2S2O3 sampai warna kuning hamper habis (iodide telah dibebaskan).
·         Tambahkan 1 ml larutan kanji, kemudian teruskan titrasi sampai warna biru hilang pertama kali (warna biru akan keluar lagi setelah beberapa menit), sehingga :
b.    standar natriumtiosulfat 0,010 N dan 0,005 N
dari larutan standar (pokok) natriumtiosulfat 0,1 N di dalam labu takar 0,5 l. 1 ml larutan titran 0,01 N sesuai dengan 354,5 µg klor sebagi Cl2. Bila kadar klor terlalu rendah untuk ditentukan dengan larutan 0,010 N maka digunakan standar natriumtiosulfat 0,005 N sebagai titran.
c.    indicator kanji
5 g kanji dengan sedikti air suling digiling dalam mortir. Tuangkan ke dalam 1 l air suling di dalam beker yang sedang mendidih (sterilisasi). Diamkan semalam agar terjadi endapan dan supernatant yang akan digunakan bebas dari kekeruhan. Tambahkan 4 g/l seng klorida (ZnCl) agar awet. Kemudian simpan dalam botol peniris.
2)      Prosedur Kerja
a.       Volume sampel dipilih sehingga volum titran yang dibutuhkan kurang dari 20 ml Na2S2O3 0,010 N. bagi sampel dengan kadar  klor 0,5 sampai 10 mg Cl2/l volumenya diambil 500 ml; sampel dengan kadar klor > 10 mg spasi CL2/l, perlu volum < 500 ml.
b.      Tuangkan 5 ml asam asetik (glacial) ke dalam sampel; adukalah agar pH merata dalam larutan yaitu sekitar pH 3 sampai 4. Cek dengan kertas pH, lalu tambahkan kurang lebih 1 g KI (warna kuning akan tampak). Aduklah terus.
c.       Sampel kemudian dititrasi dengan Na2S2O3 0,010 atau 0,005 N dengan buret biasa atau mikroburet (agar lebih teliti) samapai warna kuning hamper hilang ( larutan bebas dari iodine); tambahkan 1 ml kanji, sampel akan berwarna biru, dan lanjutkan titrasi hingga warna biru hilang pada titik akhirtitrasi.
d.      Pengaruh dari gangguan ditentukan melalui titrasi sebuah larutan blanko. Ke dalam volume air suling sebanyak sampel di butur 1, tambahkan 5 ml asam asetik, kurang lebih 1 g KI dan 1 ml larutan kanji. Kalau warn abiru keluar, lakukanlah titrasi seperti pada butir 3. Kalo warna biru tidak muncul, titrasikanlah dengan 0,0282 N larutan iodine sampai warna biru keluar; lalu titrasikanlah seperti pada butir 3. Kalau dalam kasusu terkhir volume titran iodine adalah lebih besar daripada volum titran Na2S2O3, mak nilai B (butir B.3) adalah negative.
e.       Agar supaya analisa teliti, duplikst dibuat untuk setiap sampel.
Perhitungan :
Klor aktif sebagai mg Cl2/l =
Keterangan :
A = ml titran Na2S2O3 untuk sampel
B = ml titran Na2S2O3 untuk blanko (bisa positif atau negatif)
N = normality larutan titran Na2S2O3
V = volume sampel (ml)

Operasi dan Pemeliharaan Unit Pengolahan:
1. Septic Tank
·         Pengurasan harus berkala 2-3 tahun
·         Tidak boleh ada bahan kimia berbahaya masuk ke dalam septik
·         Lumpur hasil pengurasan harus dibuang ke instalasi pengolahan lumpur tinja

2. Anaerobic Baffled Reactor
·         Pengendalian lumpur harus dilakukan di setiap kompartemen untuk mencegah busa/lapisan kotoran (scum) terlalu tebal
·         Lumpur harus dikuras setiap 2-3 tahun
·         Lumpur hasil pengurasan harus dibuang ke instalasi pengolahan lumpur tinja

3. Desinfeksi
Unit disinfeksi untuk IPAL komunal hendaknya dipakai yang sederhana saja, seperti tipe kotak atau kanal dengan tablet klorin.
Operasional :
·         Masukkan klorin tablet pada wadah yang disediakan
·         Atur bukaan pintu air (gate) pada alat tersebut
·         Periksa.analisa kandungan klorin pada efluen akhir setelah kandungan mencapai 4 ml/lt, kencangkan baut pada gate tersebut.
Pemeliharaan :
·         Secara berkala periksa unit desinfeksi ini dari kotoran yang menyumbat pintunya
·         Tablet klorin dimasukkan pada wadah yang tersedia, dan klorin akan mencair secara perlahan jika terkena aliran limbah efluen, dan secara berkala diperiksa dan ditambahkan tablet klorinnya jika telah habis.












Jar Test dan Aplikasinya di Lapangan

1.                  Pendahuluan
            Pada dasarnya, proses di dalam pengolahan air utamanya adalah untuk menurunkan kadar kekeruhan. Kekeruhan yang terkandung di dalam air ini dapat direduksi dengan proses koagulasi-flokulasi. Dikarenakan zat padat yang terdapat di dalam air berukuran sangat kecil dan tidak dapat mengendap dengan cepat, sehingga diperlukan suatu zat pembantu untuk memperbesar ukurannya agar dapat mengendap dengan cepat. Untuk mengatasi jika kualitas air baku tidak baik, maka proses koagulasi dilakukan dengan penambahan bahan kimia. Supaya proses berjalan dengan efektif, maka perlu dilakukan yang diantaranya adalah tahap preklorinasi dan Jar test.
            Jar test adalah suatu metode untuk mengevaluasi proses-proses koagulasi-flokulasi. Apabila percobaan dilakukan secara tepat, maka informasi yang diperoleh akan berguna untuk membantu operator instalasi dalam mengoptimalkan proses-proses koagulasi-flokulasi dan penjernihan.


Gambar Jar test
Proses jar test merupakan proses pengadukan, yang terdiri dari pengadukan cepat (koagulasi) dan pengadukan lambat (flokulasi). Jar test biasa digunakan pada pengolahan air limbah dan juga air minum.